Sumber :
Republika, 19 September 2006
Di antara kejadian penting
sepanjang sejarah perjuangan Rasulullah SAW yang sering terlupakan di
bulan Ramadlan adalah Perang Badar. Perang ini terjadi pada
17 Ramadhan, saat pertama kalinya puasa disyariatkan Allah kepada
Nabi SAW. Saat itu sekitar 313 kaum Muslimin di bawah pimpinan
Rasulullah SAW berhasil mengalahkan pasukan musyrikin Quraisy yang
berjumlah sekitar 950 orang di bawah komando Abu Sufyan. Inilah yang
dikenal dengan Ghozwat Badr al-Kubra. Tentang Perang Badar ini
Allah menegaskannya dalam surat Al-Anfal ayat 41. ''Jika
kalian beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang Kami turunkan
kepada hamba Kami pada Hari Pemisahan Hak dan Batil (Yaumal
Furqon), yaitu hari bertemunya dua pasukan di medan
perang.'' Para ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud
Yaumal Furqon dalam ayat ini adalah hari ketika terjadi
Perang Badar. Hal inipun ditegaskan oleh lanjutan ayat ini, yauma
iltaqoo al-Jam'aani (hari pertempuran dua pasukan). Refleksi
substansial dari Perang Badar ini bukanlah pada perang fisiknya. Yang
harus diteladani dari peristiwa 14 abad lalu itu adalah etos kerja
dan etos juang yang tak pernah surut karena puasa.
Peristiwa Badar menunjukkan bahwa puasa yang dilakukan sesuai
dengan tuntunan Rasulullah SAW akan mampu melestarikan dan menumbuhkan
etos kerja dan etos juang yang tinggi. Hal inilah yang justru sering
diabaikan. Banyak kaum Muslimin yang menjustifikasi kelesuan dan
pengurangan jam kerja, kemerosotan produktivitas, dan kemalasan-kemalasan
lainnya, sebagai konsekuensi logis puasa. Padahal,
Rasulullah SAW dan sahabatnya tidak mencontohkan demikian. Fakta
Badar adalah realitas yang amat kontradiksi dengan anggapan ini.
Bahwa, karena puasa tubuh jadi letih dan lemas, adalah wajar. Namun,
bila karena puasa produktivitas, etos kerja, dan etos juang
'melempem' , ini perlu dibenahi. Amat banyak kajian
ilmiah yang membuktikan bahwa puasa efektif untuk melejitkan potensi
kecerdasan spritual yang telah ada dalam diri setiap orang. Dari
kecerdasan inilah akan melejit pula kecerdasan emosional dan
intelektual. Bila tiga serangkai ini telah matang dalam diri
seseorang maka ia akan mampu menghadapi dan menanggulangi apa pun
yang menjadi masalahnya. Sedangkan dalam rumusan WHO yang
mendefinisikan kesehatan (health) sebagai kondisi fisik,
mental, dan sosial yang optimal dalam diri seseorang, puasa adalah
sarana paling efektif mewujudkannya. Secara fisik ia akan terbebas
dari berbagai penyakit, secara mental ia memiliki sikap dan pikiran
positif, percaya diri, serta sabar. Dan secara sosial ia akan
mempunyai solidaritas dan kepedulian terhadap sesama yang amat
tinggi. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah SAW,
''Shauumu tashihhuu.'' Berpuasalah, niscaya
kalian sehat.
Dalam kondisi negara kita yang
masih terpuruk dalam berbagai krisis, puasa seyogianya mampu
membangkitkan semangat untuk menerebas semua krisis itu. Puasa
sepatutnya dapat menumbuhkan optimisme dan percaya diri yang nyaris
hilang
Di antara kejadian penting sepanjang
sejarah perjuangan Rasulullah SAW yang sering terlupakan di bulan
Ramadlan adalah Perang Badar. Perang ini terjadi pada 17 Ramadhan,
saat pertama kalinya puasa disyariatkan Allah kepada Nabi SAW. Saat
itu sekitar 313 kaum Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW
berhasil mengalahkan pasukan musyrikin Quraisy yang berjumlah sekitar
950 orang di bawah komando Abu Sufyan. Inilah yang dikenal dengan
Ghozwat Badr al-Kubra. Tentang Perang Badar ini Allah
menegaskannya dalam surat Al-Anfal ayat 41. ''Jika kalian
beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang Kami turunkan kepada
hamba Kami pada Hari Pemisahan Hak dan Batil (Yaumal
Furqon), yaitu hari bertemunya dua pasukan di medan
perang.'' Para ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud
Yaumal Furqon dalam ayat ini adalah hari ketika terjadi
Perang Badar. Hal inipun ditegaskan oleh lanjutan ayat ini, yauma
iltaqoo al-Jam'aani (hari pertempuran dua pasukan). Refleksi
substansial dari Perang Badar ini bukanlah pada perang fisiknya. Yang
harus diteladani dari peristiwa 14 abad lalu itu adalah etos kerja
dan etos juang yang tak pernah surut karena puasa.
Peristiwa Badar menunjukkan bahwa puasa yang dilakukan sesuai
dengan tuntunan Rasulullah SAW akan mampu melestarikan dan menumbuhkan
etos kerja dan etos juang yang tinggi. Hal inilah yang justru sering
diabaikan. Banyak kaum Muslimin yang menjustifikasi kelesuan dan
pengurangan jam kerja, kemerosotan produktivitas, dan kemalasan-kemalasan
lainnya, sebagai konsekuensi logis puasa. Padahal,
Rasulullah SAW dan sahabatnya tidak mencontohkan demikian. Fakta
Badar adalah realitas yang amat kontradiksi dengan anggapan ini.
Bahwa, karena puasa tubuh jadi letih dan lemas, adalah wajar. Namun,
bila karena puasa produktivitas, etos kerja, dan etos juang
'melempem' , ini perlu dibenahi. Amat banyak kajian
ilmiah yang membuktikan bahwa puasa efektif untuk melejitkan potensi
kecerdasan spritual yang telah ada dalam diri setiap orang. Dari
kecerdasan inilah akan melejit pula kecerdasan emosional dan
intelektual. Bila tiga serangkai ini telah matang dalam diri
seseorang maka ia akan mampu menghadapi dan menanggulangi apa pun
yang menjadi masalahnya. Sedangkan dalam rumusan WHO yang
mendefinisikan kesehatan (health) sebagai kondisi fisik,
mental, dan sosial yang optimal dalam diri seseorang, puasa adalah
sarana paling efektif mewujudkannya. Secara fisik ia akan terbebas
dari berbagai penyakit, secara mental ia memiliki sikap dan pikiran
positif, percaya diri, serta sabar. Dan secara sosial ia akan
mempunyai solidaritas dan kepedulian terhadap sesama yang amat
tinggi. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah SAW,
''Shauumu tashihhuu.'' Berpuasalah, niscaya
kalian sehat.
Dalam kondisi negara kita yang
masih terpuruk dalam berbagai krisis, puasa seyogianya mampu
membangkitkan semangat untuk menerebas semua krisis itu. Puasa
sepatutnya dapat menumbuhkan optimisme dan percaya diri yang nyaris
hilang...
chaling
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar