Salah satu masalah besar di sekolah kita adalah masih
tingginya tingkat ketidakhadiran guru di kelas. Banyak kelas-kelas yang
kosong karena ditinggal oleh gurunya entah karena sakit rutin, rapat ini
dan itu, sedang ada jam mengajar di sekolah lain, ikut MGMP sambil
arisan, mesti belanja di pasar, ikut pawai partai, melayat neneknya
tetangga yang kena stroke dua tahun lalu, atau sekedar malas saja masuk
ke kelas. Daftar alasan sangat variatif dan kreatif. Dan semua pihak
nampaknya mafhum saja dengan situasi ini.
Sebuah penelitian pernah dilakukan dan ternyata tingkat absen guru di
kelas cukup tinggi. Angkanya bahkan mencapai rata-rata 20% (Dharma,
2008). Kehadiran guru di sekolah (school attandence) adalah kehadiran
dan keikutsertaan guru secara fisik dan mental terhadap aktivitas
sekolah pada jam-jam efektif di sekolah. Sedangkan ketidakhadiran adalah
ketiadaan partisipasi secara fisik guru terhadap kegiatan-kegiatan
sekolah. Pada jam-jam efektif sekolah, guru memang harus berada di
sekolah. Kalau tidak ada di sekolah, seyogyanya dapat memberikan
keterangan yang sah serta diketahui oleh kepala sekolah.
Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi hal tersebut? Jam kosong
itu ibarat ‘sunnatullah’ di sekolah-sekolah kita maka sebenarnya sekolah
harus menyiapkan juklak dan juknis untuk mengisi jam kosong di sekolah.
Tapi apa yang ‘sebenarnya’ kan tidak berarti begitulah ‘fakta’nya.
Selama ini tidak pernah ada sekolah yang punya peraturan yang jelas
tentang bagaimana sekolah tersebut menyiasati jam kosong di sekolah.
Kalau pun ada peraturan tersebut biasanya hanya berupa konvensi alias
kesepakatan bersama yang tidak tertulis. Sekolah yang tertib biasanya
menyediakan guru piket yang akan segera mengisi kelas yang kosong
tersebut. Sungguh sangat beruntung siswa-siswa tersebut jika guru
pengganti ini bisa mengisi jam pelajaran yang ditinggalkan dengan materi
pelajaran yang sama. Artinya siswa tidak akan tertinggal materi
pelajarannya karena pelajaran tetap berlangsung seperti yang telah
direncanakan. Materi tetap disampaikan meski oleh guru yang berbeda.
Tapi ini adalah kasus yang sangat langka karena jarang ada sekolah yang
punya kebijakan semacam itu. Lagipula guru piket belum tentu mampu
mengisi jam pelajaran yang kosong sesuai dengan mata pelajaran dan
subyek materi yang ditinggalkan oleh guru yang berhalangan tersebut.
Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan menerapkan Proses
Pembelajaran Gotong Royong Falsafah yang mendasari proses pembelajaran
gotong royong dalam pendidikan adalah “homo homini socius” yang
menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ciri khas dari metode
ini adalah menekankan kerjasama dan menghargai keberagaman yang sesuai
benar dengan kondisi bangsa Indonesia sehingga dapat membantu guru
mengalami proses pendewasaan dan pengembangan pribadi. Menariknya, guru
bukan hanya dapat berkembang dalam aspek kognitif saja tetapi juga dalam
aspek afektif. Selain itu, metode ini perlu untuk diterapkan karena
dapat mencegah tumbuhnya keterasingan dalam sistem individu dan
keagresifan dalam sistem kompetisi tanpa mengorbankan aspek kognitif
(Lie, 1999: 96). Dengan demikian dapat mempersiapkan guru untuk
menghadapi globalisasi dengan cara yang tepat.
Proses Pembelajaran Gotong Royong menggunakan sistem kerja secara
kelompok yang terstruktur dengan lima unsur pokok didalamnya, yaitu
saling ketergantungan positif, tanggung jawab perorangan, tatap muka,
komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok (Lie, 1999: 32).
1. Saling ketergantungan positif.
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, guru menciptakan suasana yang saling mendorong, agar merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang disebut dengan saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan positif menuntut adanya interaksi promotif yang memungkinkan sesama guru saling memberikan motivasi untuk meraih hasil yang optimal.
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, guru menciptakan suasana yang saling mendorong, agar merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang disebut dengan saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan positif menuntut adanya interaksi promotif yang memungkinkan sesama guru saling memberikan motivasi untuk meraih hasil yang optimal.
2. Tanggung jawab perseorangan
Guru dikatakan sempurna apabila mempunyai tanggung jawab yang dijalankan dengan baik. Guru adalah seorang pendidik yang juga merupakan pembimbing. Dalam bidang kemanusiaan di sekolah, guru harus bisa menjadi dirinya sebagai orangtua kedua bagi siswa. Seorang guru harus bisa menarik simpati agar menjadi idola para siswa dan disukai sehingga siswa senang belajar dengan guru.
Guru dikatakan sempurna apabila mempunyai tanggung jawab yang dijalankan dengan baik. Guru adalah seorang pendidik yang juga merupakan pembimbing. Dalam bidang kemanusiaan di sekolah, guru harus bisa menjadi dirinya sebagai orangtua kedua bagi siswa. Seorang guru harus bisa menarik simpati agar menjadi idola para siswa dan disukai sehingga siswa senang belajar dengan guru.
Para ahli menyebutkan bahwa tanggung jawab guru harus bisa menuntut
murid untuk belajar, yang terpenting adalah membuat rencana dan menuntut
murid untuk melaksanakan kegiatan belajar guru agar mencapai
pertumbuhan serta perkembangan seperti yang diharapkan. Guru mempunyai
tanggung jawab untuk turut serta dalam membina kurikulum sekolah. Guru
sesungguhnya adalah seorang kunci yang paling tahu mengenai keperluan
kurikulum yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
3. Tatap muka.
Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pengajar/guru untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4. Komunikasi antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para pengajar/guru dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para pengajar/guru.
Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pengajar/guru untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4. Komunikasi antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para pengajar/guru dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para pengajar/guru.
5. Evaluasi proses kelompok.
Pengajar/guru perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Pendidikan bukan sekadar penyerapan ilmu pengetahuan, melainkan lebih jauh membutuhkan keterlibatan aktif secara fisik dan mental dalam prosesnya, maka kehadiran secara fisik di sekolah tetap penting apapun alasannya, dan bagaimanapun canggihnya teknologi yang dipergunakan. Pendidikan telah lama dipandang sebagai suatu aktivitas yang harus melibatkan guru secara aktif, dan tidak sekedar sebagai penyampaian informasi belaka.
Pengajar/guru perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Pendidikan bukan sekadar penyerapan ilmu pengetahuan, melainkan lebih jauh membutuhkan keterlibatan aktif secara fisik dan mental dalam prosesnya, maka kehadiran secara fisik di sekolah tetap penting apapun alasannya, dan bagaimanapun canggihnya teknologi yang dipergunakan. Pendidikan telah lama dipandang sebagai suatu aktivitas yang harus melibatkan guru secara aktif, dan tidak sekedar sebagai penyampaian informasi belaka.
salam mendidik..chaling
Tidak ada komentar:
Posting Komentar