Karakter
bangsa yang kuat bisa diperoleh dari sistem pendidikan yang baik dan
tidak hanya mementingkan faktor kecerdasan intelektual semata, melainkan
juga pendidikan yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan serta
menghasilkan output yang tidak sekadar mampu bersaing di
dunia kerja, namun juga mampu menghasilkan karya yang berguna bagi
masyarakat, agama, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan hal itu, maka
diperlukan pendidikan yang mencakup dua unsur utama, yaitu keunggulan
akademik dan keunggulan nonakademik (termasuk keunggulan spiritual).
Sekolah
formal adalah contoh lembaga pendidikan yang berfokus pada faktor
kecerdasan akademik meskipun tidak lantas mengabaikan hal-hal yang
bersifat spiritual atau keagamaan. Hanya saja, sistem pendidikan di
sekolah formal memang menekankan pencapaian prestasi anak didik dalam
hal kecerdasan intelektual yang pada akhirnya bermuara pada berbagai
ukuran akademik.
Sementara
itu, pondok pesantren menjadi salah satu pilihan lembaga pendidikan
yang mengutamakan upaya pencerdasan spiritual atau keagamaan meskipun
sekarang ini banyak pondok pesantren di Indonesia yang juga memberikan
pengetahuan umum secara terintegrasi. Dengan kata lain, sudah banyak
pondok pesantren modern yang mencerahkan sekaligus mencerdaskan.
Upaya
pembentukan karakter bangsa kepada generasi muda, yang mencakup
kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dapat melalui lembaga
pendidikan atau sekolah berbasis pondok pesantren. Yang bertujuan untuk
mencetak anak didik yang paham keilmuan umum sekaligus keilmuan
keagamaan atau anak didik yang berpengetahuan umum serta mempunyai
kepribadian religius, sederhana, dan mandiri.
Pilihan
memadukan sistem pendidikan di sekolah formal dan di pondok pesantren
ini diambil setelah melihat dan mengamati secara seksama mutu pendidikan
yang dilahirkan oleh masing-masing sistem. Secara umum, sekolah dan
pondok pesantren merupakan dua lembaga pendidikan yang masing-masing
memiliki keunggulan yang berbeda satu sama lain.
Apabila
keunggulan dari kedua lembaga pendidikan itu dipadukan, maka akan
tercipta sebuah kekuatan pendidikan yang kuat dan berpotensi mampu
menghasilkan generasi muda Indonesia yang unggul, handal, dan berkarakter.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003,
pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu
kehidupan dan martabat manusia.
Secara
psikologi, tujuan pendidikan adalah pembentukan karakter yang terwujud
dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang
dimilikinya. Menurut tokoh pendidikan karakter dari Jerman FW Foerster,
karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi.
Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontinguen yang
selalu berubah. Foerster mengatakan bahwa dari kematangan inilah kualitas seorang pribadi dapat diukur (Ali, 2007:242).
Istilah karakter mempunyai beberapa pengertian. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karakter diartikan sebagai
tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang
membedakan seseorang daripada yang lain (Pusat Bahasa, 2005:1270). Watak sendiri dapat dimaknai sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku,
budi pekerti, serta tabiat dasar.
Musfiroh (2008:27) mengatakan bahwa karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku (behavior), motivasi (motivation), dan keterampilan (skill)
yang meliputi keinginan untuk melakukan hal yang terbaik. Sementara
itu, Semiawan (Soedarsono, 1999:17) karakter adalah keseluruhan
kehidupan psikis seseorang yang merupakan hasil interaksi antara faktor
endogin dan faktor eksogin atau pengalaman dari seluruh pengaruh lingkungan.
Rosada (2009:108) menjelaskan bahwa karakter dapat dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), bertindak (acting), dan menuju kebiasaan (habit). Karakter
bukan hanya sebatas pada pengetahuan saja, tetapi perlu adanya
perlakuan dan kebiasaan untuk berbuat. Seseorang yang memiliki
pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai
pengetahuannya itu jika dia tidak berlatih untuk melakukan kebaikan
tersebut (Lickona, 1992:53).
Untuk
menjadi manusia yang berkarakter, seseorang tidak cukup hanya memiliki
pengetahuan tentang nilai-nilai moral tanpa disertai adanya karakter
bermoral.
Adapun yang termasuk dalam karakter bermoral, menurut Lickona (1992) adalah tiga komponen karakter (components of good character), yakni pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral actions). Ketiga hal ini diperlukan agar seseorang mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus
nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti berpikir
positif, simpati, empati, jujur, religius, peduli, rendah hati, dan
lain-lain.
Lantas
apakah pendidikan karakter itu? Secara umum pendidikan karakter adalah
suatu istilah untuk menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan
pembelajaran bagi perkembangan personal. Sebagaimana telah ditulis di
atas, Lickona (1992) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah upaya
penanaman dan pembentukan karakter yang menekankan pada pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling) dan perbuatan bermoral (moral action).
Hidayat & Widjanarko (2008: 184) menjelaskan bahwa yang
termasuk area pendidikan karakter antara lain: penalaran moral atau
pengembangan kognitif, pembelajaran sosial dan emosional, pendidikan
kebajikan moral, pendidikan keterampilan hidup, pendidikan kesehatan,
pencegahan kekerasan, resolusi konflik, serta filsafat etik atau moral.
Dengan
demikian, pendidikan karakter merupakan proses yang terintegrasi dengan
pendidikan secara luas dan bertahap, dari pendidikan di dalam keluarga,
lembaga pendidikan (misalnya sekolah, baik formal, informal, atau
nonformal), hingga di kehidupan bermasyarakat. Pendidikan karakter juga
menjangkau proses penanaman nilai-nilai agama, budaya, adat istiadat,
dan estetika. Dengan kata lain, pendidikan karakter adalah upaya agar
peserta didik mengenal, peduli, dan menginteranalisasi nilai-nilai
sehingga mereka dapat berperilaku sebagai insan kamil
(Syafaruddin, 2012:192).
Dalam
konteks ini, lembaga pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai agama
atau spiritual, seperti pondok pesantren, mutlak diperlukan. Jika
sekolah formal (SD, SMP, SMA, SMK, dan sejenisnya) memfokuskan sistem
pendidikannya pada sektor kecerdasan intelektual atau akademik, maka
pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan yang mengutamakan
pengajarannya pada sektor kecerdasan spiritual dan pendalaman ajaran
agama Islam. Pandangan tentang pondok pesantren sendiri
cukup beragam. Pondok pesantren dapat dipandang sebagai lembaga ritual,
lembaga pembinaan moral, lembaga dakwah, atau lembaga pendidikan Islam.
Sejak didirikan pertama kali, pesantren memang merupakan sebuah lembaga pendidikan yang
memfokuskan pengajaran dalam bidang agama Islam (Widiyanta &
Miftahuddin, 2009). Istilah pesantren sendiri berasal dari kata santri,
yang mendapatkan imbuhan berupa awalan pe- dan akhiran -an. Oleh karena
itu, pesantren dapat diartikan sebagai tempat tinggal para santri. Arti
kata santri sendiri adalah orang yang mendalami agama Islam, atau orang
yang beribadah dengan sungguh-sungguh, atau orang yang saleh (Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008:1266).
Pesantren
kemudian lebih dikenal dengan sebutan yang lebih lengkap, yaitu pondok
pesantren. Pesantren disebut dengan pondok karena sebelum tahun 1960-an,
pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal
dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian
asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang
dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari bahasa Arab yang berarti
hotel atau asrama (Dhofier, 1994:18).
Sama
seperti sekolah formal, pondok pesantren adalah suatu lembaga
pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan belajar mengajar.
Unsur-unsur yang terdapat di lembaga pondok pesantren pun serupa dengan
yang terdapat di sekolah formal. Ada kiai sebagai guru, santri sebagai
murid,
kitab sebagai buku, pondok sebagai kelas dan asrama, pendalaman ajaran
agama (termasuk pengajaran kitab) sebagai mata pelajaran, dan
seterusnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya pada konteks
pendidikan, makna pondok pesantren pun menjadi meluas dan tidak sempit
lagi.
Pendidikan
di pondok pesantren seringkali dikategorikan ke dalam sistem pendidikan
tradisional karena lembaga ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu
dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian
besar umat Islam di Indonesia (Mastuhu, 1994:55). Namun demikian,
seiring perkembangan zaman, di Indonesia sekarang ini banyak pesantren
yang memperbaharui konsepnya menjadi lebih modern.
Upaya
memadukan pendidikan sekolah formal dengan pondok pesantren akan
menghasilkan sistem pendidikan yang lebih kuat dan lengkap. Pengembangan
model pendidikan berbasis pesantren sebenarnya merupakan wujud upaya
dalam memadukan keunggulan pelaksanaan sistem pendidikan di sekolah
keunggulan pelaksanaan sistem pendidikan di pondok pesantren.
Di
lembaga pendidikan formal, termasuk di sekolah menengah pertama,
pendidikan karakter telah menjadi bagian dalam struktur dan muatan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan saat ini dilanjutkan dengan kurikulum 2013.
Dengan demikian, masing-masing sekolah mempunyai kewajiban untuk
menerapkan pola pendidikan karakter kepada anak didiknya. Pendidikan
karakter di sekolah formal bisa diberikan melalui mata pelajaran khusus,
disisipkan ketika guru menyampaikan pelajaran di dalam kelas, atau bisa
juga melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler.
Dengan diterapkannya
prinsip-prinsip pendidikan karakter di sekolah formal, diharapkan akan
terbentuk karakter anak bangsa seperti yang dicita-citakan. Adapun ciri
karakter anak yang diharapkan dapat dicapai melalui pendidikan karakter
di sekolah formal antara lain: bertanggung-jawab, bergaya hidup sehat,
kerja keras, percaya diri, berjiwa wirausaha, berpikir cakap (logis,
kritis, kreatif, dan inovatif), mandiri, ingin tahu, cinta ilmu, sadar
hak dan kewajiban, patuh pada aturan sosial, menghargai karya orang
lain, sopan santun, demokratis, cinta lingkungan, nasionalis, menghargai
keberagaman, dan lain-lain.
Pendidikan karakter yang diajarkan di pondok pesantren lebih terfokus untuk menanamkan jiwa religius, akhlakul
hasanah, disiplin, kesederhanaan, menghormati orang yang lebih tua, dan
memberikan pemahaman tentang makna hidup. Alhasil, para santri yang
belajar di pondok pesantren diharapkan mempunyai karakter keagamaan yang
kuat, mampu mengamalkan nilai-nilai ajaran agama dengan baik, patuh
kepada orang yang patut dihormati, memiliki akhlak yang
sesuai dengan ajaran Islam, serta mampu memaknai tentang kehidupan
berdasarkan Alquran dan Hadist.
Keunggulan
yang terdapat pada masing-masing lembaga pendidikan itu akan semakin
bermakna apabila keduanya diintegrasikan ke dalam satu model satuan
pendidikan yang dikelola secara terpadu atau yang kemudian dikenal
sebagai model sekolah berbasis pesantren (SBP). Integrasi ini akan
menjadi instrumen yang berharga bagi peningkatan mutu SDM di Indonesia
sehingga menjadi manusia yang kompetitif dan komparatif serta mampu
bersaing di era globalisasi tanpa harus meninggalkan karakter bangsa.
Jika sekolah formal berbasis pondok pesantren dikelola dengan baik, maka hasil yang akan diperoleh pun juga berkualitas baik. Lulusan Sekolah Berbasis
Pesantren diharapkan bisa menjadi manusia Indonesia yang handal,
memiliki integritas intelektual, spiritual, dan emosional, serta
berwatak plural dan multikultural, menghargai hak dan kewajiban dalam
kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa demi terwujudnya
masyarakat Indonesia yang madani, berkarakter, serta mampu berdiri
sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
salam chaling.....