Rabu, 16 April 2014

Indahnya Jika Sekolah Berbasis Pesantren

Karakter bangsa yang kuat bisa diperoleh dari sistem pendidikan yang baik dan tidak hanya mementingkan faktor kecerdasan intelektual semata, melainkan juga pendidikan yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan serta menghasilkan output yang tidak sekadar mampu bersaing di dunia kerja, namun juga mampu menghasilkan karya yang berguna bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan hal itu, maka diperlukan pendidikan yang mencakup dua unsur utama, yaitu keunggulan akademik dan keunggulan nonakademik (termasuk keunggulan spiritual).
Sekolah formal adalah contoh lembaga pendidikan yang berfokus pada faktor kecerdasan akademik meskipun tidak lantas mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual atau keagamaan. Hanya saja, sistem pendidikan di sekolah formal memang menekankan pencapaian prestasi anak didik dalam hal kecerdasan intelektual yang pada akhirnya bermuara pada berbagai ukuran akademik.
Sementara itu, pondok pesantren menjadi salah satu pilihan lembaga pendidikan yang mengutamakan upaya pencerdasan spiritual atau keagamaan meskipun sekarang ini banyak pondok pesantren di Indonesia yang juga memberikan pengetahuan umum secara terintegrasi. Dengan kata lain, sudah banyak pondok pesantren modern yang mencerahkan sekaligus mencerdaskan.
Upaya pembentukan karakter bangsa kepada generasi muda, yang mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dapat melalui lembaga pendidikan atau sekolah berbasis pondok pesantren. Yang bertujuan untuk mencetak anak didik yang paham keilmuan umum sekaligus keilmuan keagamaan atau anak didik yang berpengetahuan umum serta mempunyai kepribadian religius, sederhana, dan mandiri.
Pilihan memadukan sistem pendidikan di sekolah formal dan di pondok pesantren ini diambil setelah melihat dan mengamati secara seksama mutu pendidikan yang dilahirkan oleh masing-masing sistem. Secara umum, sekolah dan pondok pesantren merupakan dua lembaga pendidikan yang masing-masing memiliki keunggulan yang berbeda satu sama lain.
Apabila keunggulan dari kedua lembaga pendidikan itu dipadukan, maka akan tercipta sebuah kekuatan pendidikan yang kuat dan berpotensi mampu menghasilkan generasi muda Indonesia yang unggul, handal, dan berkarakter.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia.
Secara psikologi, tujuan pendidikan adalah pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Menurut tokoh pendidikan karakter dari Jerman FW Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontinguen yang selalu berubah. Foerster mengatakan bahwa dari kematangan inilah kualitas seorang pribadi dapat diukur (Ali, 2007:242).
Istilah karakter mempunyai beberapa pengertian. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain (Pusat Bahasa, 2005:1270). Watak sendiri dapat dimaknai sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku,
budi pekerti, serta tabiat dasar.
Musfiroh (2008:27) mengatakan bahwa karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku (behavior), motivasi (motivation), dan keterampilan (skill) yang meliputi keinginan untuk melakukan hal yang terbaik. Sementara itu, Semiawan (Soedarsono, 1999:17) karakter adalah keseluruhan kehidupan psikis seseorang yang merupakan hasil interaksi antara faktor endogin dan faktor eksogin atau pengalaman dari seluruh pengaruh lingkungan.
Rosada (2009:108) menjelaskan bahwa karakter dapat dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), bertindak (acting), dan menuju kebiasaan (habit). Karakter bukan hanya sebatas pada pengetahuan saja, tetapi perlu adanya perlakuan dan kebiasaan untuk berbuat. Seseorang yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai pengetahuannya itu jika dia tidak berlatih untuk melakukan kebaikan tersebut (Lickona, 1992:53).
Untuk menjadi manusia yang berkarakter, seseorang tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai moral tanpa disertai adanya karakter bermoral.
Adapun yang termasuk dalam karakter bermoral, menurut Lickona (1992) adalah tiga komponen karakter (components of good character), yakni pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral actions). Ketiga hal ini diperlukan agar seseorang mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti berpikir positif, simpati, empati, jujur, religius, peduli, rendah hati, dan lain-lain.
Lantas apakah pendidikan karakter itu? Secara umum pendidikan karakter adalah suatu istilah untuk menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan personal. Sebagaimana telah ditulis di atas, Lickona (1992) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah upaya penanaman dan pembentukan karakter yang menekankan pada pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling) dan perbuatan bermoral (moral action).
Hidayat & Widjanarko (2008: 184) menjelaskan bahwa yang termasuk area pendidikan karakter antara lain: penalaran moral atau pengembangan kognitif, pembelajaran sosial dan emosional, pendidikan kebajikan moral, pendidikan keterampilan hidup, pendidikan kesehatan, pencegahan kekerasan, resolusi konflik, serta filsafat etik atau moral.
Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan proses yang terintegrasi dengan pendidikan secara luas dan bertahap, dari pendidikan di dalam keluarga, lembaga pendidikan (misalnya sekolah, baik formal, informal, atau nonformal), hingga di kehidupan bermasyarakat. Pendidikan karakter juga menjangkau proses penanaman nilai-nilai agama, budaya, adat istiadat, dan estetika. Dengan kata lain, pendidikan karakter adalah upaya agar peserta didik mengenal, peduli, dan menginteranalisasi nilai-nilai sehingga mereka dapat berperilaku sebagai insan kamil
(Syafaruddin, 2012:192).
Dalam konteks ini, lembaga pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai agama atau spiritual, seperti pondok pesantren, mutlak diperlukan. Jika sekolah formal (SD, SMP, SMA, SMK, dan sejenisnya) memfokuskan sistem pendidikannya pada sektor kecerdasan intelektual atau akademik, maka pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan yang mengutamakan pengajarannya pada sektor kecerdasan spiritual dan pendalaman ajaran agama Islam. Pandangan tentang pondok pesantren sendiri cukup beragam. Pondok pesantren dapat dipandang sebagai lembaga ritual, lembaga pembinaan moral, lembaga dakwah, atau lembaga pendidikan Islam.
Sejak didirikan pertama kali, pesantren memang merupakan sebuah lembaga pendidikan yang memfokuskan pengajaran dalam bidang agama Islam (Widiyanta & Miftahuddin, 2009). Istilah pesantren sendiri berasal dari kata santri, yang mendapatkan imbuhan berupa awalan pe- dan akhiran -an. Oleh karena itu, pesantren dapat diartikan sebagai tempat tinggal para santri. Arti kata santri sendiri adalah orang yang mendalami agama Islam, atau orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, atau orang yang saleh (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008:1266).
Pesantren kemudian lebih dikenal dengan sebutan yang lebih lengkap, yaitu pondok pesantren. Pesantren disebut dengan pondok karena sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari bahasa Arab yang berarti hotel atau asrama (Dhofier, 1994:18).
Sama seperti sekolah formal, pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan belajar mengajar. Unsur-unsur yang terdapat di lembaga pondok pesantren pun serupa dengan yang terdapat di sekolah formal. Ada kiai sebagai guru, santri sebagai
murid, kitab sebagai buku, pondok sebagai kelas dan asrama, pendalaman ajaran agama (termasuk pengajaran kitab) sebagai mata pelajaran, dan seterusnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya pada konteks pendidikan, makna pondok pesantren pun menjadi meluas dan tidak sempit lagi.
Pendidikan di pondok pesantren seringkali dikategorikan ke dalam sistem pendidikan tradisional karena lembaga ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam di Indonesia (Mastuhu, 1994:55). Namun demikian, seiring perkembangan zaman, di Indonesia sekarang ini banyak pesantren yang memperbaharui konsepnya menjadi lebih modern.
Upaya memadukan pendidikan sekolah formal dengan pondok pesantren akan menghasilkan sistem pendidikan yang lebih kuat dan lengkap. Pengembangan model pendidikan berbasis pesantren sebenarnya merupakan wujud upaya dalam memadukan keunggulan pelaksanaan sistem pendidikan di sekolah keunggulan pelaksanaan sistem pendidikan di pondok pesantren.
Di lembaga pendidikan formal, termasuk di sekolah menengah pertama, pendidikan karakter telah menjadi bagian dalam struktur dan muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan saat ini dilanjutkan dengan kurikulum 2013. Dengan demikian, masing-masing sekolah mempunyai kewajiban untuk menerapkan pola pendidikan karakter kepada anak didiknya. Pendidikan karakter di sekolah formal bisa diberikan melalui mata pelajaran khusus, disisipkan ketika guru menyampaikan pelajaran di dalam kelas, atau bisa juga melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler.
Dengan diterapkannya prinsip-prinsip pendidikan karakter di sekolah formal, diharapkan akan terbentuk karakter anak bangsa seperti yang dicita-citakan. Adapun ciri karakter anak yang diharapkan dapat dicapai melalui pendidikan karakter di sekolah formal antara lain: bertanggung-jawab, bergaya hidup sehat, kerja keras, percaya diri, berjiwa wirausaha, berpikir cakap (logis, kritis, kreatif, dan inovatif), mandiri, ingin tahu, cinta ilmu, sadar hak dan kewajiban, patuh pada aturan sosial, menghargai karya orang lain, sopan santun, demokratis, cinta lingkungan, nasionalis, menghargai keberagaman, dan lain-lain.
Pendidikan karakter yang diajarkan di pondok pesantren lebih terfokus untuk menanamkan jiwa religius, akhlakul hasanah, disiplin, kesederhanaan, menghormati orang yang lebih tua, dan memberikan pemahaman tentang makna hidup. Alhasil, para santri yang belajar di pondok pesantren diharapkan mempunyai karakter keagamaan yang kuat, mampu mengamalkan nilai-nilai ajaran agama dengan baik, patuh kepada orang yang patut dihormati, memiliki akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam, serta mampu memaknai tentang kehidupan berdasarkan Alquran dan Hadist.
Keunggulan yang terdapat pada masing-masing lembaga pendidikan itu akan semakin bermakna apabila keduanya diintegrasikan ke dalam satu model satuan pendidikan yang dikelola secara terpadu atau yang kemudian dikenal sebagai model sekolah berbasis pesantren (SBP). Integrasi ini akan menjadi instrumen yang berharga bagi peningkatan mutu SDM di Indonesia sehingga menjadi manusia yang kompetitif dan komparatif serta mampu bersaing di era globalisasi tanpa harus meninggalkan karakter bangsa.
Jika sekolah formal berbasis pondok pesantren dikelola dengan baik, maka hasil yang akan diperoleh pun juga berkualitas baik. Lulusan Sekolah Berbasis Pesantren diharapkan bisa menjadi manusia Indonesia yang handal, memiliki integritas intelektual, spiritual, dan emosional, serta berwatak plural dan multikultural, menghargai hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang madani, berkarakter, serta mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
salam chaling.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar