Kali
ini menjadi guru menyenangkan yang paling penting memiliki empati, dan
harus bijaksana. Berikut akan kita ulas mengenai dua hal tersebut.
Empati
mempunyai pengertia yang hampir mirip dengan simpati. Oleh karena itu,
kita harus berhati-hati betul dalam memahaminya. Menurut Bennet, empati
adalah partisipasi emosional dan intelektual secara imajinatif pada
pengalaman orang lain.
Apabila
kita perhatikan dengan seksama, empati berbeda dengan simpati. Empati
menekankan pada partisipasi secara emosional dan intelektual pada
pengalaman orang lain, sedangkan simpati menekankan pada penempatan diri
secara imajinatif pada posisi orang lain.
Empati dapat diartikan bagaimana kita membeyangkan pikiran
atau perasaan orang lain menurut persepsi orang yang bersangkutan.
Sedangkan simpati adalah kita menempatkan diri kita seperti orang lain
dengan menggunakan persepsi kita. Dalam empati kita membayangkan
perasaan atau pikiran orang lain, tetapi dalam simpati kita membayangkan
apabila kita menjadi orang lain.
Guru
empati dapat membayangkan pikiran dan perasaan siswa menurut persepsi
mereka, bukan menurut persepsi guru. Misalnya, dalam proses
pembelajaran, seorang guru empati merancang dan melaksanakan program
pembelajaran sesuai dengan alam dan pikiran dan perasaan siswa, bukan
sesuai dengan alam pikir dirinya. Hal ini tercermin dalam bahasa yang
digunakan dan cara memperlakukan siswa.
Guru empati berbeda dengan guru biasa dalam memperlakukan siswa-siswinya.
Perhatikan dua contoh perbedaan yang mencolok antara guru empati dan guru tidak empati dalam menghadapi siswa.
Contoh 1
Cara Guru Tidak Empati dalam menyelesaikan persoalan siswa yang terlambat masuk sekolah.
Guru : ”Mengapa kamu datang terlambat?”
Siswa : ”Saya terlambat bangun, Bu.”
Guru : “Ah, alasan kamu! Tidakkah kamu tahu kalau sekolah dimulai pukul 07.00?”
Siswa : ”Saya tahu, Bu. Tapi kali ini saya benar-benar terlambat bangun. Saya menyesal
datang terlambat.”
Guru : ”Ya, sudah. Besok tidak boleh terlambat lagi. Awas kalau terlambat lagi!”
Coba
anda amati kalimta-kalimat yang disampaikan sang guru terhadap siswa
dalam ilustrasi tersebut. Kata-kata yang digunakannya adalah kata-kata
yang menyudutkan, menyalahkan, dan mengundang rasa tidak nyaman. Bahkan,
di dalamnya terdapat kalimat yang mengancam siswa.
Contoh 2
Cara Guru Empati dalam menyelesaikan persoalan siswa yang terlambat masuk sekolah.
Guru : ”Mengapa kamu datang terlambat, Nak?”
Siswa : ”Saya terlambat bangun, Bu.”
Guru : “Kamu tidur terlampau larut tadi malam?”
Siswa : ”Betul, Bu. Saya nonton pertandingan sepak bola.”
Guru : ”Kamu sangat menyukai sepak bola?”
Siswa : ”Betul, Bu. Saya pecinta sepak bola.”
Guru : ”Kamu mencintai sepak bola?”
Siswa : ”Ya, Bu.”
Guru : ”Kamu tidak mau kehilangan kesempatan nonton sepak bola?”
Siswa : Betul, Bu.”
Guru : ”Kamu juga sebetulnya tidak mau terlambat sekolah?”
Siswa : ”Betul, Bu.”
Guru : ”Kamu dapat mengatur waktumu agar kecintaanmu terhadap sepak bola tidak
mengganggu sekolahmu?”
Siswa : ”Bisa, Bu. Lain kali saya tidak akan terlambat ke sekolah, meskipun habis
nonton sepak bola.”
Guru : ”Kamu merasa itu pilihan yang terbaik untukmu?”
Siswa : ”Ya, Bu.”
(Guru mengangguk, lalu mempersilakan siswa masuk kelas).
Dari
dialog tersebut, tampak dengan jelas perbedaan sikap guru empati dengan
guru tidak empati. Contoh kasus 1 menggambarkan sikap guru tidak
empati. Siswa merasa tidak nyaman dngan sikap guru tersebut. Ia
sebetulnya sudah tahu bahwa dirinya tidak mau terlambat ke sekolah, dan
ia menyesal. Akan tetapi, pertanyaan dan ancaman guru semakin membuat
dirinya merasa bersalah yang mendalam. Sikap guru seperti itu dapat
mengundang siswa tidak hormat pada guru, bahkan dapat menimbulkan rasa
marah da dendam siswa kepada guru.
Sebaliknya,
pada contoh kaus 2, guru memesisikan diri pada persepsi dan perasaan
siswa yang terlambat sehingga akhirnya siswa menyadari kekeliruannya
dengan penuh kesadaran. Bahkan, ia menemukan solusinya tanpa harus
merasa ditekan atau diancam oleh guru. Kecintaannya pada sepak bola
tidak dicela oleh guru. Akan tetapi, pada kasus pertama, guru sama
sekali tidak menghargai kesukaan siswa pada sepak bola.
Sebagai
manusia, para siswa dapat membedakan guru empati dan guru tidak empati.
Guru empati sangat menyenangkan sehingga bisa dijadikan seaa orang tua
dan sahabat. Guru empati aman untuk dijadikan sebagai tempat curhat.
Wajarlah, apabila guru empati disukai dan disayangi para siswanya.
Di
tangan guru empati, para siswa tunduk dan patuh serta terbu. Oleh
karena itu, guru empati memiliki kekuatan psikologis yang luar biasa.
Dalam
kehidupan sehari-hari, ada sementara guru yang berpandangan bahwa sikap
empati membuat guru tidak dihargai siswa. Pendapat ini tentu saja
kurang berdasar. Yang menyebabkan guru tidak dihargai siswa bukan
empatinya, melainkan sikapnya yang sering mencela, memaki, dan tidak
menghargai perasaan serta pikiran siswa alias guru otoriter atau guru
yang tidak memegang nilai-nilai dalam menghadapi siswa (tidak proaktif).
Bagi
guru pada era globalisasi seperti sekarang ini, sikap dan perlakuan
empati kepada siswa merupakan tuntutan mutlak untuk mencapai hubungan
yang harmonis dan edukatif dengan siswa. Tanpa sikap ini, pola
komunikasi dan hubungan antara siswa dan guru dalam pendidikan akan
terasa dingin dan memiliki jarak psikologis, bahkan cenderung
menegangkan. Akibatnya, proses pendidikan tidak mencapai hasil yang
optimal.
Nah, para guru hebat dimanapun anda berada, bagaimana?Sudahkah anda bersikap empati kepada siswa-siswi anda?
Ternyata,
memiliki empati saja tidak cukup. Untuk menjadi guru yang menyenangkan
satu hal lagi yang harus dimiliki adalah sikap Bijaksana.
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta, arti kata
bijaksana adalah menggunakan akan pikiran dan pengalamannya. Ini berarti
bahwa orang bijaksana adalah orang yang senantiasa menggunakan akal dan
pikirannya dalam menghadapi atau memutuskan persoalan. Orang bijaksana
tidak emosional dalam menghadapi seuatu. Ia pun tidak gegabah dalam
mengambil keputusan. Setiap persoalan dihadapinya dengan akal sehat.
Setiap keputusan dipertimbangkan masak-masak didasarkan pada ilmu
pengetahuan yang luas.
Seorang
guru dikatakan bijaksana apabila dalam menghadapi setiap persoalan
senantiasa mempertimbangkan dengan akal sehat dan mendasarkannya pada
ilmu pengetahuan. Ia tidak reaktif dan emosional. Misalnya, apabila ia
menghadapi siswa yang melakukan kesalahan, ia tidak dengan serta-merta
menyalahkan, mencela, memaki, dan menghukum siswa. Dengan tenang dan
penuh kesabaran, ia mengumpulkan berbagai bukti secara objektif. Setelah
bukti tersebut ditemuka, ia mempertimbangkan kemanfaatan, baik bagi
siswa yang melakukan kesalahan tersebut maupun bagi kebaikan umum.
Guru
bijaksana merancang dan melaksanakan pembelajaran seuai dengan
kemampuan dan keadaan siswa-siswinya. Ia tidak memaksakan kehendaknya
sendiri pada anak-anak. Ia tidak berlebihan dalam memberikan tugas, tapi
disesuaikan dengan kebutuhan dan keperluan siswa.
Secara
umum, para siswa menyukai guru yang bijaksana. Mengapa demikian? Sebab,
dari guru bijaksana mereka mendapatkan pelajaran untuk kehidupannya.
Mereka merasa diperlakukan secara m,anusiawi, tidak semena-mena. Berbeda
halnya degan guru yang tidak bijaksana. Guru tidak bijaksana
memperlakukan siswa semaunya, menurut perasaannya. Jika tidak menyukai
siswa tertentu, guru tidak bijaksana akan meindasanya, terutama secara
psikologis.
Guru
tidak bijaksana kan terjerumus ke dalam perbuatan merusakkan mentalitas
siswa tanpa disadari. Ia akan memperlakukan siswa seperti memperlakukan
orang dewasa lain yang tidak disukai. Bahkan ia bisa lupa bahwa tugas
dirinya adalah memperbaiki siswa bukan merusakkannya.
Ada
yang berpendapat bahwa bijaksana berarti melanggar hukum. Pendapat ini
tentu saja tidak dapat dibenarkan. Bijaksana bukan melanggar hukum.
Justru bijaksana berarti melaksanakan hukuk sesuai dengan kebutuhan dan
keperluan.
Wahai para guru, sudahkah anda bersikap dan bertindak bijaksana terhadap siswa-siswi anda?
Menjadi guru menyenangkan tak cukup hanya memiliki empati saja, tetapi juga harus punya sikap bijaksana. Anda sudah SIAP? HARUS!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar