Minggu, 29 Juni 2014

Keutamaan Puasa Syawal

Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian diikuti enam hari pada bulan Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa satu tahun” (HR. Muslim).

Puasa enam hari pada bulan Syawal termasuk puasa sunnat. Rasulullah saw sangat menganjurkannya, sampai dalam hadits di atas pahalanya sama dengan pahala satu tahun.

Abu Hurairah berkata: “Pahalanya satu tahun, karena setiap hari pahalanya sama dengan puasa sepuluh hari. Tiga puluh hari ramadhan sama dengan tiga ratus hari ditambah enam hari bulan syawal sama dengan enam puluh hari, sehingga jumlah seluruhnya adalah tiga ratus enam puluh hari yakni satu tahun. Hal ini, karena Allah berfirman: “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” (QS. Al-An’am: 160)”.

Puasa ini boleh dilakukan berurutan sejak tanggal dua syawal, sebagaimana pendapat Imam Syafi’i, atau boleh juga tidak berurutan yang penting enam hari pada bulan Syawal sebagaimana pendapat Jumhur ulama seperti Imam Waki’ dan Imam Ahmad.

Di antara manfaat puasa Syawal ini sebagaimana dituturkan Ibnu Rajab adalah sebagai berikut:

Pertama, puasa enam hari pada bulan Syawal pahalanya sama dengan puasa satu tahun penuh sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Kedua, puasa pada bulan Syawal dan Sya’ban seperti shalat sunnat rawatib. Fungsinya untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan dalam shalat wajib. Karena, kelak pada hari Kiamat, pahala wajib dapat disempurnakan dengan amalan sunnat.
Ketiga, dengan puasa enam hari pada bulan Syawal di antara ciri puasa Ramadhannya diterima oleh Allah, karena apabila Allah menerima amal ibadah seseorang, Allah akan memudahkan orang tersebut untuk melakukan amal shaleh lainnya. Para ulama berkata: “Pahala kebaikan adalah dengan kebaikan setelahnya. Siapa yang melakukan kebaikan, lalu setelahnya diikuti dengan kebaikan lainnya, maka itu bukti diterimanya kebaikan pertama”.
Keempat, puasa enam hari di bulan Syawal di antara cara bersyukur kepada Allah. Orang yang berpuasa Ramadhan berhak mendapatkan ampunan (maghfirah) dari Allah atas segala dosa-dosanya yang telah lalu, dan tidak ada nikmat yang paling berharga selain pengampunan Allah. Karena itu, mereka yang telah berpuasa Ramadhan patut bersyukur atas nikmat ini, di antaranya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal. “Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, dan supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).
Kelima, puasa enam hari pada bulan Syawal, bukti bahwa kebaikan dan amal shaleh tidak berakhir seiring berlalunya Ramadhan, akan tetapi terus berlanjut selama hidup. Seorang ulama shaleh, Bisyir, pernah ditanya tentang orang-orang yang hanya beribadah pada bulan Ramadhan, ia menjawab: “Sejahat-jahat kaum adalah mereka yang hanya mengenal dan menyembah Allah pada bulan Ramadhan saja”.
Imam as-Syibly pernah ditanya: “Mana yang paling utama; apakah bulan Sya’ban atau bulan Ramadhan?” Ia menjawab: “Jadilah hamba yang menyembah Allah (rabbaniyyan) bukan yang menyembah bulan Ramadhan (ramadhaniyyan)”.
Marilah kita mulai dari sekarang untuk melakukan puasa sunnat enam hari di bulan Syawal ini. Di tengah orang-orang asik makan minum sementara kita berpuasa, sungguh tersimpan pahala yang sangat luar biasa. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya apabila orang yang sedang berpuasa berada di tengah-tengah orang-orang berbuka, maka seluruh anggota tubuhnya bertasbih kepada Allah, serta para malaikat mendoakannya: “Ya Allah, ampunilah segala dosa dan kesalahannya serta sayangilah dia” (HR. Ibnu Majah). Semoga.
Khawatir Amalannya Tidak Diterima (Renungan Syawwal) Dpc Wibanggai Dari Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ: "وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ": قَالَتْ عَائِشَةُ: أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ؟ قَالَ: "لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ، أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ". رواه الترمذي (3175) ، وصححه الألباني (صحيح سنن الترمذي، 287/3(. ”Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat ini (al-Mu’minun ayat 60) ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut’. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:”Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum khamr (minuman keras) dan mencuri?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Bukan, wahai anak perempuan ash-Shiddiq (Abu Bakar). Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan sedekah, dan mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orag-orag yang bersegera dalam kebaikan.” (HR. Imam at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi (3/287)) Al-‘Alamah al-Mubarkafuury rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi berkata: Makna {وَاَلَّذِينَ يُؤْتُونَ} yaitu orang-orang yang memberi. {مَا آتَوْا} maksudnya, apa yang teelah mereka berikan berupa sedekah dan amalal-amalan shalih. Makna {وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ} maksudnya, mereka takut (khawatir) kalau amalan mereka tidak diterima. Dan setelah itu {أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ}(Sesungguhnya hanya kepada Rabb merekalah mereka akan kembali) maksudnya, karena mereka yakin bahwa hanya kepada Allah mereka akan kembali. Sabda Nabi {أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ} demikianlah redaksi dalam riwayat ini. Dan yang ada dalam al-Qur’an {أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ} maksudnya, mereka bersegera untuk melakukan amalan-amalan shalih. {وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ} (dan mereka bersegera untuk kebaikan) maksudnya dalam ilmu Allah. Ada yang mengatakan: Karena kebaikan-kebaikan itulah ia mendahului (orang lain) menuju Surga atau karenan kebaikan-kebaikan itu mereka mendahului (mengungguli) manusia. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:”Kebahagiaan dari Allah lebih dahulu mereka dapatkan.” Dari penjelasan di atas sudah menjadi keharusan bagi kita untuk khawatir kalau-kalau amalan-amalan kita tidak diterima, dan kita juga seharusnya khwatir kalau-kalau ibadah puasa Ramadhan kita tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan seperti sebagian manusia yang mereka tidak bersemangat untuk menjadikan amalan (ketaatan) mereka diterima. Karena sesungguhnya diberikan taufiq (kemudahan) oleh Allah untuk melakukan amalan shalih adalah kenikmatan yang besar, namun kenikmatan tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan kenikmatan yang lebih besar dari itu, yaitu nikmat diterimanya amalan tersebut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika seorang hamba mengetahui bahwa amalannya bisa tertolak (tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) dikarenakan banyak hal, maka sudah seharusnya pengetahuan tentang sebab-sebab diterimanya amalan menjadi hal yang paling penting untuk diketahui. Lalu jika ia mendapatkan hal itu ada pada dirinya, ia pun memuji Allah dan bertahan dan terus menerus pada amalan tersebut, dan jika ia tidak mendapatkannya maka hendaklah yang menjadi prioritasnya mulai dari sekarang adalah melakukan sebab-sebab itu dan mengikhlaskannya semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lantas apa sebab-sebab diterimanya amal atau apa ciri-ciri dari orang yang diterima amalannya? Di antara ciri-cirinya adalah: Tidak Kembali Melakukan Dosa Setelah Melakukan Ketaatan Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata:”Barang siapa yang beristighfar dengan lisannya, namun hatinya terikat dengan maksiat, tekadnya ingin kembali melakukannya (maksiat) setelah bulan (Ramadhan) lewat. Maka tertolak puasanya, dan pintu penerimaan amal tertutup untuknya.” Rasa Khawatir Jika Amalannya Tertolak Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh dengan ketaatan kita dan ibadah kita, Dia berfirman: وَمَن يَشْكُرْ فَإنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ) [لقمان: 12]، ”Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12) Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: (إن تَكْفُرُوا فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ) [الزمر: 7] ”Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 7) Dan seorang mukmin di samping ia bersemangat dalam melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai macam ibadah, ia juga khawatir dan takut kalau-kalau amalannya tidak diterima. Hal ini bisa kita lihat dalam hadits di atas. Jadi seorang mukmin tidak berlebihan dalam rasa percaya dirinya kalau amalannya diterima, namun dia merasa takut kalau amalannya tertolak dan sekaligus berharap supaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima selurh amalan ibadahnya. Diberikan Taufiq (Ilham) Untuk Melakukan Amalan Shalih Lain Setelahnya Sesungguhnya di antara tanda diterimanya amalan ketaatan seseorang adalah ia diberikan taufiq untuk melakukan ketaatan setelahnya, dan di antara tanda diterimanya amalan kebaikan adalah diberikannya taufiq untuk melakukan kebaikan setelahnya, karena kebaikan akan berkata:”Saudarku-saudaraku (kemarilah). Dan ini salah satu bentuk rahmat dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang mana Dia memuliakan hamba-Nya jika ia melakukan kebaikan dan mengikhlaskannya Dia akan membukakan untuk hamba tersebut pintu kebaikan yang lain supaya hamba tersebut semakin dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka amal shalih ibarat sebuah pohon yang baik, yang membutuhkan siraman dan pemeliharaan supaya ia tumbuh dan kokoh dan kemudaian berbuah. Dan perkara penting yang kita butuhkan adalah memperhatikan amalan shalih kita yang t elah kita amalkan, lalu kita menjaganya (merutinkannya) dan menambahnya sedikit demi sedikit. Dan inilah makna istiqamah. Menganggap Kecil Amalannya dan Tidak Merasa Ujub dan Tepedaya Dengannya Sesungguhnya seorang hamba yang beriman sekalipun ia mengerjakan dan mempersembahkan banyak amal shalih, namun amalan shalih itu semua belum cukup untuk menunaikan syukur salah satu nikmat Allah yang ada pada diri kita, seperti nikmat pendengaran, penglihatan, ucapan dan lain-lain. Dan juga dengan amalannya tersebut ia belum menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena hak-hak Allah lebih besar dari itu. Oleh sebab itu salah satu sifat hamba yang ikhlash adalah mereka menganggap kecil amalannya, dan menganggapnya tidak ada apa-apanya. Hal itu supaya ia tidak merasa ujub (bangga diri) dengan amalannya, dan agar ia tidak terpedaya dengannya yang akhirnya dapat menghapuskan pahalanya dan membuatnya malas untuk melakukan amal shalih yang lain. Di antara hal yang bisa membantu supaya seseorang menganggap kecil amalannya adalah dengan ma’rifatullah (mengenal Allah), melihat nikmat-Nya, mengingat-ingat dosanya dan kekurangannya (dalam menunaikan hak Allah). Dan supaya ia juga memperhatikan bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berwasiat kepada Nabi-Nya dengan hal itu, setelah Dia memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan beerapa perintah, Dia berfirman: ) يا أيها المدثر. قم فأنذر. وربك فكبر. وثيابك فطهر. والرجز فاهجر. ولاتمنن تستكثر) ” Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. Al-Mudatstsir: 1-6) Dan di antara makna ayat di atas adalah apa yang dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah;”Janganlah engkau mengungkit-ungkit amalanmu (ibadahmu) terhadap Rabbmudan engkau berharap balasan yang lebih banyak.” Mencintai Ketaatan dan Membenci Kemaksiatan Di antara ciri amalan yang diterima adalah Allah menjadikan hati pelakunya mencintai kebaikan, sehingga hatinya pun cinta dan merasa nyaman dan tenang dengan kebaikan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: )الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ )الرعد28 ” (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”(QS. Ar-Ra’d: 28) Dan di antara tanda diterimanya amalan adalah seseorang membenci kemaksiatan dan membenci untuk mendekati kemaksiatan, dan ia pun berdoa kepada Allah agar Dia menjauhkannya dari kemaksiatang seraya mengucapkan: اللهم حبب إليَّ الإيمان وزينه في قلبي وكرَّه إليَّ الكفر والفسوق والعصيان واجعلني من الراشدين. Banyak Berharap dan Berdoa Dimudahkan Untuk Melakukan Ketaatan dan Menjauhi Kemaksiatan Subhanallah jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan ketaatanmu, maka Allah akan memudahkanmu untuk melakukan ketaatan yang lainnya, bahkan Dia akan menjauhkanmu dari kemaksiatan sekalipun engkau berusaha mendekatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: (فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى{5} وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى{6} فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى{7} وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى{8} وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى{9} فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى{10})4-10 الليل ” Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.”(QS. Al-Lail: 5-10) Mencintai Orang Shalih dan Membenci Ahl Maksiat Banyak Beristighfar Kontinyu Dalam Melakukan Amal Shalih Dan di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah merutinnkan sebuah amalan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا عمل عملاً أثبته) رواه مسلم. ”Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melakukan amalan beliau akan menetapinya (merutinkannya).” (HR. Muslim) Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah amalan yang dirutinkan, sekalipun sedikit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ( أحب الأعمال إلى الله أدومها وإن قل). متفق عليه. ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dirutinkan, sekalipun sedikit.”(Muttafaq ‘alaihi) أسأل الله جل وتعالى أن يجعلني وإياكم وجميع إخواننا المسلمين من المقبولين، ممن تقبل الله صيامهم وقيامهم وحجهم وجميع طاعاتهم وكانوا من عتقائه من النار. (Sumber: علامات قبول الطاعة karya Amir bin Muhammad, Imam dan Khatib Masjid al-Iman Yaman di http://www.saaid.net/Doat/ameer/55.htm.

Read more at: http://wahdah-banggai.blogspot.com/2011/09/khawatir-amalannya-tidak-diterima.html
Copyright wahdah-banggai.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Khawatir Amalannya Tidak Diterima (Renungan Syawwal) Dpc Wibanggai Dari Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ: "وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ": قَالَتْ عَائِشَةُ: أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ؟ قَالَ: "لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ، أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ". رواه الترمذي (3175) ، وصححه الألباني (صحيح سنن الترمذي، 287/3(. ”Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat ini (al-Mu’minun ayat 60) ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut’. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:”Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum khamr (minuman keras) dan mencuri?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Bukan, wahai anak perempuan ash-Shiddiq (Abu Bakar). Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan sedekah, dan mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orag-orag yang bersegera dalam kebaikan.” (HR. Imam at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi (3/287)) Al-‘Alamah al-Mubarkafuury rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi berkata: Makna {وَاَلَّذِينَ يُؤْتُونَ} yaitu orang-orang yang memberi. {مَا آتَوْا} maksudnya, apa yang teelah mereka berikan berupa sedekah dan amalal-amalan shalih. Makna {وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ} maksudnya, mereka takut (khawatir) kalau amalan mereka tidak diterima. Dan setelah itu {أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ}(Sesungguhnya hanya kepada Rabb merekalah mereka akan kembali) maksudnya, karena mereka yakin bahwa hanya kepada Allah mereka akan kembali. Sabda Nabi {أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ} demikianlah redaksi dalam riwayat ini. Dan yang ada dalam al-Qur’an {أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ} maksudnya, mereka bersegera untuk melakukan amalan-amalan shalih. {وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ} (dan mereka bersegera untuk kebaikan) maksudnya dalam ilmu Allah. Ada yang mengatakan: Karena kebaikan-kebaikan itulah ia mendahului (orang lain) menuju Surga atau karenan kebaikan-kebaikan itu mereka mendahului (mengungguli) manusia. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:”Kebahagiaan dari Allah lebih dahulu mereka dapatkan.” Dari penjelasan di atas sudah menjadi keharusan bagi kita untuk khawatir kalau-kalau amalan-amalan kita tidak diterima, dan kita juga seharusnya khwatir kalau-kalau ibadah puasa Ramadhan kita tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan seperti sebagian manusia yang mereka tidak bersemangat untuk menjadikan amalan (ketaatan) mereka diterima. Karena sesungguhnya diberikan taufiq (kemudahan) oleh Allah untuk melakukan amalan shalih adalah kenikmatan yang besar, namun kenikmatan tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan kenikmatan yang lebih besar dari itu, yaitu nikmat diterimanya amalan tersebut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika seorang hamba mengetahui bahwa amalannya bisa tertolak (tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) dikarenakan banyak hal, maka sudah seharusnya pengetahuan tentang sebab-sebab diterimanya amalan menjadi hal yang paling penting untuk diketahui. Lalu jika ia mendapatkan hal itu ada pada dirinya, ia pun memuji Allah dan bertahan dan terus menerus pada amalan tersebut, dan jika ia tidak mendapatkannya maka hendaklah yang menjadi prioritasnya mulai dari sekarang adalah melakukan sebab-sebab itu dan mengikhlaskannya semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lantas apa sebab-sebab diterimanya amal atau apa ciri-ciri dari orang yang diterima amalannya? Di antara ciri-cirinya adalah: Tidak Kembali Melakukan Dosa Setelah Melakukan Ketaatan Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata:”Barang siapa yang beristighfar dengan lisannya, namun hatinya terikat dengan maksiat, tekadnya ingin kembali melakukannya (maksiat) setelah bulan (Ramadhan) lewat. Maka tertolak puasanya, dan pintu penerimaan amal tertutup untuknya.” Rasa Khawatir Jika Amalannya Tertolak Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh dengan ketaatan kita dan ibadah kita, Dia berfirman: وَمَن يَشْكُرْ فَإنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ) [لقمان: 12]، ”Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12) Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: (إن تَكْفُرُوا فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ) [الزمر: 7] ”Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 7) Dan seorang mukmin di samping ia bersemangat dalam melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai macam ibadah, ia juga khawatir dan takut kalau-kalau amalannya tidak diterima. Hal ini bisa kita lihat dalam hadits di atas. Jadi seorang mukmin tidak berlebihan dalam rasa percaya dirinya kalau amalannya diterima, namun dia merasa takut kalau amalannya tertolak dan sekaligus berharap supaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima selurh amalan ibadahnya. Diberikan Taufiq (Ilham) Untuk Melakukan Amalan Shalih Lain Setelahnya Sesungguhnya di antara tanda diterimanya amalan ketaatan seseorang adalah ia diberikan taufiq untuk melakukan ketaatan setelahnya, dan di antara tanda diterimanya amalan kebaikan adalah diberikannya taufiq untuk melakukan kebaikan setelahnya, karena kebaikan akan berkata:”Saudarku-saudaraku (kemarilah). Dan ini salah satu bentuk rahmat dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang mana Dia memuliakan hamba-Nya jika ia melakukan kebaikan dan mengikhlaskannya Dia akan membukakan untuk hamba tersebut pintu kebaikan yang lain supaya hamba tersebut semakin dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka amal shalih ibarat sebuah pohon yang baik, yang membutuhkan siraman dan pemeliharaan supaya ia tumbuh dan kokoh dan kemudaian berbuah. Dan perkara penting yang kita butuhkan adalah memperhatikan amalan shalih kita yang t elah kita amalkan, lalu kita menjaganya (merutinkannya) dan menambahnya sedikit demi sedikit. Dan inilah makna istiqamah. Menganggap Kecil Amalannya dan Tidak Merasa Ujub dan Tepedaya Dengannya Sesungguhnya seorang hamba yang beriman sekalipun ia mengerjakan dan mempersembahkan banyak amal shalih, namun amalan shalih itu semua belum cukup untuk menunaikan syukur salah satu nikmat Allah yang ada pada diri kita, seperti nikmat pendengaran, penglihatan, ucapan dan lain-lain. Dan juga dengan amalannya tersebut ia belum menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena hak-hak Allah lebih besar dari itu. Oleh sebab itu salah satu sifat hamba yang ikhlash adalah mereka menganggap kecil amalannya, dan menganggapnya tidak ada apa-apanya. Hal itu supaya ia tidak merasa ujub (bangga diri) dengan amalannya, dan agar ia tidak terpedaya dengannya yang akhirnya dapat menghapuskan pahalanya dan membuatnya malas untuk melakukan amal shalih yang lain. Di antara hal yang bisa membantu supaya seseorang menganggap kecil amalannya adalah dengan ma’rifatullah (mengenal Allah), melihat nikmat-Nya, mengingat-ingat dosanya dan kekurangannya (dalam menunaikan hak Allah). Dan supaya ia juga memperhatikan bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berwasiat kepada Nabi-Nya dengan hal itu, setelah Dia memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan beerapa perintah, Dia berfirman: ) يا أيها المدثر. قم فأنذر. وربك فكبر. وثيابك فطهر. والرجز فاهجر. ولاتمنن تستكثر) ” Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. Al-Mudatstsir: 1-6) Dan di antara makna ayat di atas adalah apa yang dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah;”Janganlah engkau mengungkit-ungkit amalanmu (ibadahmu) terhadap Rabbmudan engkau berharap balasan yang lebih banyak.” Mencintai Ketaatan dan Membenci Kemaksiatan Di antara ciri amalan yang diterima adalah Allah menjadikan hati pelakunya mencintai kebaikan, sehingga hatinya pun cinta dan merasa nyaman dan tenang dengan kebaikan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: )الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ )الرعد28 ” (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”(QS. Ar-Ra’d: 28) Dan di antara tanda diterimanya amalan adalah seseorang membenci kemaksiatan dan membenci untuk mendekati kemaksiatan, dan ia pun berdoa kepada Allah agar Dia menjauhkannya dari kemaksiatang seraya mengucapkan: اللهم حبب إليَّ الإيمان وزينه في قلبي وكرَّه إليَّ الكفر والفسوق والعصيان واجعلني من الراشدين. Banyak Berharap dan Berdoa Dimudahkan Untuk Melakukan Ketaatan dan Menjauhi Kemaksiatan Subhanallah jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan ketaatanmu, maka Allah akan memudahkanmu untuk melakukan ketaatan yang lainnya, bahkan Dia akan menjauhkanmu dari kemaksiatan sekalipun engkau berusaha mendekatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: (فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى{5} وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى{6} فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى{7} وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى{8} وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى{9} فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى{10})4-10 الليل ” Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.”(QS. Al-Lail: 5-10) Mencintai Orang Shalih dan Membenci Ahl Maksiat Banyak Beristighfar Kontinyu Dalam Melakukan Amal Shalih Dan di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah merutinnkan sebuah amalan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا عمل عملاً أثبته) رواه مسلم. ”Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melakukan amalan beliau akan menetapinya (merutinkannya).” (HR. Muslim) Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah amalan yang dirutinkan, sekalipun sedikit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ( أحب الأعمال إلى الله أدومها وإن قل). متفق عليه. ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dirutinkan, sekalipun sedikit.”(Muttafaq ‘alaihi) أسأل الله جل وتعالى أن يجعلني وإياكم وجميع إخواننا المسلمين من المقبولين، ممن تقبل الله صيامهم وقيامهم وحجهم وجميع طاعاتهم وكانوا من عتقائه من النار. (Sumber: علامات قبول الطاعة karya Amir bin Muhammad, Imam dan Khatib Masjid al-Iman Yaman di http://www.saaid.net/Doat/ameer/55.htm.

Read more at: http://wahdah-banggai.blogspot.com/2011/09/khawatir-amalannya-tidak-diterima.html
Copyright wahdah-banggai.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Khawatir Amalannya Tidak Diterima (Renungan Syawwal) Dpc Wibanggai Dari Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ: "وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ": قَالَتْ عَائِشَةُ: أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ؟ قَالَ: "لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ، أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ". رواه الترمذي (3175) ، وصححه الألباني (صحيح سنن الترمذي، 287/3(. ”Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat ini (al-Mu’minun ayat 60) ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut’. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:”Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum khamr (minuman keras) dan mencuri?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Bukan, wahai anak perempuan ash-Shiddiq (Abu Bakar). Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan sedekah, dan mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orag-orag yang bersegera dalam kebaikan.” (HR. Imam at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi (3/287)) Al-‘Alamah al-Mubarkafuury rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi berkata: Makna {وَاَلَّذِينَ يُؤْتُونَ} yaitu orang-orang yang memberi. {مَا آتَوْا} maksudnya, apa yang teelah mereka berikan berupa sedekah dan amalal-amalan shalih. Makna {وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ} maksudnya, mereka takut (khawatir) kalau amalan mereka tidak diterima. Dan setelah itu {أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ}(Sesungguhnya hanya kepada Rabb merekalah mereka akan kembali) maksudnya, karena mereka yakin bahwa hanya kepada Allah mereka akan kembali. Sabda Nabi {أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ} demikianlah redaksi dalam riwayat ini. Dan yang ada dalam al-Qur’an {أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ} maksudnya, mereka bersegera untuk melakukan amalan-amalan shalih. {وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ} (dan mereka bersegera untuk kebaikan) maksudnya dalam ilmu Allah. Ada yang mengatakan: Karena kebaikan-kebaikan itulah ia mendahului (orang lain) menuju Surga atau karenan kebaikan-kebaikan itu mereka mendahului (mengungguli) manusia. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:”Kebahagiaan dari Allah lebih dahulu mereka dapatkan.” Dari penjelasan di atas sudah menjadi keharusan bagi kita untuk khawatir kalau-kalau amalan-amalan kita tidak diterima, dan kita juga seharusnya khwatir kalau-kalau ibadah puasa Ramadhan kita tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan seperti sebagian manusia yang mereka tidak bersemangat untuk menjadikan amalan (ketaatan) mereka diterima. Karena sesungguhnya diberikan taufiq (kemudahan) oleh Allah untuk melakukan amalan shalih adalah kenikmatan yang besar, namun kenikmatan tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan kenikmatan yang lebih besar dari itu, yaitu nikmat diterimanya amalan tersebut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika seorang hamba mengetahui bahwa amalannya bisa tertolak (tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) dikarenakan banyak hal, maka sudah seharusnya pengetahuan tentang sebab-sebab diterimanya amalan menjadi hal yang paling penting untuk diketahui. Lalu jika ia mendapatkan hal itu ada pada dirinya, ia pun memuji Allah dan bertahan dan terus menerus pada amalan tersebut, dan jika ia tidak mendapatkannya maka hendaklah yang menjadi prioritasnya mulai dari sekarang adalah melakukan sebab-sebab itu dan mengikhlaskannya semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lantas apa sebab-sebab diterimanya amal atau apa ciri-ciri dari orang yang diterima amalannya? Di antara ciri-cirinya adalah: Tidak Kembali Melakukan Dosa Setelah Melakukan Ketaatan Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata:”Barang siapa yang beristighfar dengan lisannya, namun hatinya terikat dengan maksiat, tekadnya ingin kembali melakukannya (maksiat) setelah bulan (Ramadhan) lewat. Maka tertolak puasanya, dan pintu penerimaan amal tertutup untuknya.” Rasa Khawatir Jika Amalannya Tertolak Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh dengan ketaatan kita dan ibadah kita, Dia berfirman: وَمَن يَشْكُرْ فَإنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ) [لقمان: 12]، ”Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12) Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: (إن تَكْفُرُوا فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ) [الزمر: 7] ”Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 7) Dan seorang mukmin di samping ia bersemangat dalam melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai macam ibadah, ia juga khawatir dan takut kalau-kalau amalannya tidak diterima. Hal ini bisa kita lihat dalam hadits di atas. Jadi seorang mukmin tidak berlebihan dalam rasa percaya dirinya kalau amalannya diterima, namun dia merasa takut kalau amalannya tertolak dan sekaligus berharap supaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima selurh amalan ibadahnya. Diberikan Taufiq (Ilham) Untuk Melakukan Amalan Shalih Lain Setelahnya Sesungguhnya di antara tanda diterimanya amalan ketaatan seseorang adalah ia diberikan taufiq untuk melakukan ketaatan setelahnya, dan di antara tanda diterimanya amalan kebaikan adalah diberikannya taufiq untuk melakukan kebaikan setelahnya, karena kebaikan akan berkata:”Saudarku-saudaraku (kemarilah). Dan ini salah satu bentuk rahmat dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang mana Dia memuliakan hamba-Nya jika ia melakukan kebaikan dan mengikhlaskannya Dia akan membukakan untuk hamba tersebut pintu kebaikan yang lain supaya hamba tersebut semakin dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka amal shalih ibarat sebuah pohon yang baik, yang membutuhkan siraman dan pemeliharaan supaya ia tumbuh dan kokoh dan kemudaian berbuah. Dan perkara penting yang kita butuhkan adalah memperhatikan amalan shalih kita yang t elah kita amalkan, lalu kita menjaganya (merutinkannya) dan menambahnya sedikit demi sedikit. Dan inilah makna istiqamah. Menganggap Kecil Amalannya dan Tidak Merasa Ujub dan Tepedaya Dengannya Sesungguhnya seorang hamba yang beriman sekalipun ia mengerjakan dan mempersembahkan banyak amal shalih, namun amalan shalih itu semua belum cukup untuk menunaikan syukur salah satu nikmat Allah yang ada pada diri kita, seperti nikmat pendengaran, penglihatan, ucapan dan lain-lain. Dan juga dengan amalannya tersebut ia belum menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena hak-hak Allah lebih besar dari itu. Oleh sebab itu salah satu sifat hamba yang ikhlash adalah mereka menganggap kecil amalannya, dan menganggapnya tidak ada apa-apanya. Hal itu supaya ia tidak merasa ujub (bangga diri) dengan amalannya, dan agar ia tidak terpedaya dengannya yang akhirnya dapat menghapuskan pahalanya dan membuatnya malas untuk melakukan amal shalih yang lain. Di antara hal yang bisa membantu supaya seseorang menganggap kecil amalannya adalah dengan ma’rifatullah (mengenal Allah), melihat nikmat-Nya, mengingat-ingat dosanya dan kekurangannya (dalam menunaikan hak Allah). Dan supaya ia juga memperhatikan bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berwasiat kepada Nabi-Nya dengan hal itu, setelah Dia memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan beerapa perintah, Dia berfirman: ) يا أيها المدثر. قم فأنذر. وربك فكبر. وثيابك فطهر. والرجز فاهجر. ولاتمنن تستكثر) ” Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. Al-Mudatstsir: 1-6) Dan di antara makna ayat di atas adalah apa yang dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah;”Janganlah engkau mengungkit-ungkit amalanmu (ibadahmu) terhadap Rabbmudan engkau berharap balasan yang lebih banyak.” Mencintai Ketaatan dan Membenci Kemaksiatan Di antara ciri amalan yang diterima adalah Allah menjadikan hati pelakunya mencintai kebaikan, sehingga hatinya pun cinta dan merasa nyaman dan tenang dengan kebaikan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: )الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ )الرعد28 ” (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”(QS. Ar-Ra’d: 28) Dan di antara tanda diterimanya amalan adalah seseorang membenci kemaksiatan dan membenci untuk mendekati kemaksiatan, dan ia pun berdoa kepada Allah agar Dia menjauhkannya dari kemaksiatang seraya mengucapkan: اللهم حبب إليَّ الإيمان وزينه في قلبي وكرَّه إليَّ الكفر والفسوق والعصيان واجعلني من الراشدين. Banyak Berharap dan Berdoa Dimudahkan Untuk Melakukan Ketaatan dan Menjauhi Kemaksiatan Subhanallah jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan ketaatanmu, maka Allah akan memudahkanmu untuk melakukan ketaatan yang lainnya, bahkan Dia akan menjauhkanmu dari kemaksiatan sekalipun engkau berusaha mendekatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: (فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى{5} وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى{6} فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى{7} وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى{8} وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى{9} فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى{10})4-10 الليل ” Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.”(QS. Al-Lail: 5-10) Mencintai Orang Shalih dan Membenci Ahl Maksiat Banyak Beristighfar Kontinyu Dalam Melakukan Amal Shalih Dan di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah merutinnkan sebuah amalan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا عمل عملاً أثبته) رواه مسلم. ”Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melakukan amalan beliau akan menetapinya (merutinkannya).” (HR. Muslim) Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah amalan yang dirutinkan, sekalipun sedikit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ( أحب الأعمال إلى الله أدومها وإن قل). متفق عليه. ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dirutinkan, sekalipun sedikit.”(Muttafaq ‘alaihi) أسأل الله جل وتعالى أن يجعلني وإياكم وجميع إخواننا المسلمين من المقبولين، ممن تقبل الله صيامهم وقيامهم وحجهم وجميع طاعاتهم وكانوا من عتقائه من النار. (Sumber: علامات قبول الطاعة karya Amir bin Muhammad, Imam dan Khatib Masjid al-Iman Yaman di http://www.saaid.net/Doat/ameer/55.htm.

Read more at: http://wahdah-banggai.blogspot.com/2011/09/khawatir-amalannya-tidak-diterima.html
Copyright wahdah-banggai.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution

Keutamaan Puasa Syawal

Written by admin on J September 2010

Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian diikuti enam hari pada bulan Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa satu tahun” (HR. Muslim).
Puasa enam hari pada bulan Syawal termasuk puasa sunnat. Rasulullah saw sangat menganjurkannya, sampai dalam hadits di atas pahalanya sama dengan pahala satu tahun.
Abu Hurairah berkata: “Pahalanya satu tahun, karena setiap hari pahalanya sama dengan puasa sepuluh hari. Tiga puluh hari ramadhan sama dengan tiga ratus hari ditambah enam hari bulan syawal sama dengan enam puluh hari, sehingga jumlah seluruhnya adalah tiga ratus enam puluh hari yakni satu tahun. Hal ini, karena Allah berfirman: “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” (QS. Al-An’am: 160)”.
Puasa ini boleh dilakukan berurutan sejak tanggal dua syawal, sebagaimana pendapat Imam Syafi’i, atau boleh juga tidak berurutan yang penting enam hari pada bulan Syawal sebagaimana pendapat Jumhur ulama seperti Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Di antara manfaat puasa Syawal ini sebagaimana dituturkan Ibnu Rajab adalah sebagai berikut:
Pertama, puasa enam hari pada bulan Syawal pahalanya sama dengan puasa satu tahun penuh sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Kedua, puasa pada bulan Syawal dan Sya’ban seperti shalat sunnat rawatib. Fungsinya untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan dalam shalat wajib. Karena, kelak pada hari Kiamat, pahala wajib dapat disempurnakan dengan amalan sunnat.
Ketiga, dengan puasa enam hari pada bulan Syawal di antara ciri puasa Ramadhannya diterima oleh Allah, karena apabila Allah menerima amal ibadah seseorang, Allah akan memudahkan orang tersebut untuk melakukan amal shaleh lainnya. Para ulama berkata: “Pahala kebaikan adalah dengan kebaikan setelahnya. Siapa yang melakukan kebaikan, lalu setelahnya diikuti dengan kebaikan lainnya, maka itu bukti diterimanya kebaikan pertama”.
Keempat, puasa enam hari di bulan Syawal di antara cara bersyukur kepada Allah. Orang yang berpuasa Ramadhan berhak mendapatkan ampunan (maghfirah) dari Allah atas segala dosa-dosanya yang telah lalu, dan tidak ada nikmat yang paling berharga selain pengampunan Allah. Karena itu, mereka yang telah berpuasa Ramadhan patut bersyukur atas nikmat ini, di antaranya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal. “Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, dan supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).
Kelima, puasa enam hari pada bulan Syawal, bukti bahwa kebaikan dan amal shaleh tidak berakhir seiring berlalunya Ramadhan, akan tetapi terus berlanjut selama hidup. Seorang ulama shaleh, Bisyir, pernah ditanya tentang orang-orang yang hanya beribadah pada bulan Ramadhan, ia menjawab: “Sejahat-jahat kaum adalah mereka yang hanya mengenal dan menyembah Allah pada bulan Ramadhan saja”.
Imam as-Syibly pernah ditanya: “Mana yang paling utama; apakah bulan Sya’ban atau bulan Ramadhan?” Ia menjawab: “Jadilah hamba yang menyembah Allah (rabbaniyyan) bukan yang menyembah bulan Ramadhan (ramadhaniyyan)”.
Marilah kita mulai dari sekarang untuk melakukan puasa sunnat enam hari di bulan Syawal ini. Di tengah orang-orang asik makan minum sementara kita berpuasa, sungguh tersimpan pahala yang sangat luar biasa. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya apabila orang yang sedang berpuasa berada di tengah-tengah orang-orang berbuka, maka seluruh anggota tubuhnya bertasbih kepada Allah, serta para malaikat mendoakannya: “Ya Allah, ampunilah segala dosa dan kesalahannya serta sayangilah dia” (HR. Ibnu Majah). Semoga.

Keutamaan Puasa Syawal

Written by admin on J September 2010

Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian diikuti enam hari pada bulan Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa satu tahun” (HR. Muslim).
Puasa enam hari pada bulan Syawal termasuk puasa sunnat. Rasulullah saw sangat menganjurkannya, sampai dalam hadits di atas pahalanya sama dengan pahala satu tahun.
Abu Hurairah berkata: “Pahalanya satu tahun, karena setiap hari pahalanya sama dengan puasa sepuluh hari. Tiga puluh hari ramadhan sama dengan tiga ratus hari ditambah enam hari bulan syawal sama dengan enam puluh hari, sehingga jumlah seluruhnya adalah tiga ratus enam puluh hari yakni satu tahun. Hal ini, karena Allah berfirman: “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” (QS. Al-An’am: 160)”.
Puasa ini boleh dilakukan berurutan sejak tanggal dua syawal, sebagaimana pendapat Imam Syafi’i, atau boleh juga tidak berurutan yang penting enam hari pada bulan Syawal sebagaimana pendapat Jumhur ulama seperti Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Di antara manfaat puasa Syawal ini sebagaimana dituturkan Ibnu Rajab adalah sebagai berikut:
Pertama, puasa enam hari pada bulan Syawal pahalanya sama dengan puasa satu tahun penuh sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Kedua, puasa pada bulan Syawal dan Sya’ban seperti shalat sunnat rawatib. Fungsinya untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan dalam shalat wajib. Karena, kelak pada hari Kiamat, pahala wajib dapat disempurnakan dengan amalan sunnat.
Ketiga, dengan puasa enam hari pada bulan Syawal di antara ciri puasa Ramadhannya diterima oleh Allah, karena apabila Allah menerima amal ibadah seseorang, Allah akan memudahkan orang tersebut untuk melakukan amal shaleh lainnya. Para ulama berkata: “Pahala kebaikan adalah dengan kebaikan setelahnya. Siapa yang melakukan kebaikan, lalu setelahnya diikuti dengan kebaikan lainnya, maka itu bukti diterimanya kebaikan pertama”.
Keempat, puasa enam hari di bulan Syawal di antara cara bersyukur kepada Allah. Orang yang berpuasa Ramadhan berhak mendapatkan ampunan (maghfirah) dari Allah atas segala dosa-dosanya yang telah lalu, dan tidak ada nikmat yang paling berharga selain pengampunan Allah. Karena itu, mereka yang telah berpuasa Ramadhan patut bersyukur atas nikmat ini, di antaranya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal. “Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, dan supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).
Kelima, puasa enam hari pada bulan Syawal, bukti bahwa kebaikan dan amal shaleh tidak berakhir seiring berlalunya Ramadhan, akan tetapi terus berlanjut selama hidup. Seorang ulama shaleh, Bisyir, pernah ditanya tentang orang-orang yang hanya beribadah pada bulan Ramadhan, ia menjawab: “Sejahat-jahat kaum adalah mereka yang hanya mengenal dan menyembah Allah pada bulan Ramadhan saja”.
Imam as-Syibly pernah ditanya: “Mana yang paling utama; apakah bulan Sya’ban atau bulan Ramadhan?” Ia menjawab: “Jadilah hamba yang menyembah Allah (rabbaniyyan) bukan yang menyembah bulan Ramadhan (ramadhaniyyan)”.
Marilah kita mulai dari sekarang untuk melakukan puasa sunnat enam hari di bulan Syawal ini. Di tengah orang-orang asik makan minum sementara kita berpuasa, sungguh tersimpan pahala yang sangat luar biasa. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya apabila orang yang sedang berpuasa berada di tengah-tengah orang-orang berbuka, maka seluruh anggota tubuhnya bertasbih kepada Allah, serta para malaikat mendoakannya: “Ya Allah, ampunilah segala dosa dan kesalahannya serta sayangilah dia” (HR. Ibnu Majah). Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar