Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian
diikuti enam hari pada bulan Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa
satu tahun” (HR. Muslim).
Puasa enam
hari pada bulan Syawal termasuk puasa sunnat. Rasulullah saw sangat
menganjurkannya, sampai dalam hadits di atas pahalanya sama dengan
pahala satu tahun.
Abu
Hurairah berkata: “Pahalanya satu tahun, karena setiap hari pahalanya
sama dengan puasa sepuluh hari. Tiga puluh hari ramadhan sama dengan
tiga ratus hari ditambah enam hari bulan syawal sama dengan enam puluh
hari, sehingga jumlah seluruhnya adalah tiga ratus enam puluh hari yakni
satu tahun. Hal ini, karena Allah berfirman: “Barangsiapa membawa amal
yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” (QS.
Al-An’am: 160)”.
Puasa ini
boleh dilakukan berurutan sejak tanggal dua syawal, sebagaimana pendapat
Imam Syafi’i, atau boleh juga tidak berurutan yang penting enam hari
pada bulan Syawal sebagaimana pendapat Jumhur ulama seperti Imam Waki’
dan Imam Ahmad.
Di antara manfaat puasa Syawal ini sebagaimana dituturkan Ibnu Rajab adalah sebagai berikut:
Pertama, puasa enam hari pada bulan Syawal pahalanya sama dengan puasa satu tahun penuh sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Kedua,
puasa pada bulan Syawal dan Sya’ban seperti shalat sunnat rawatib.
Fungsinya untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan dalam shalat wajib.
Karena, kelak pada hari Kiamat, pahala wajib dapat disempurnakan dengan
amalan sunnat.
Ketiga,
dengan puasa enam hari pada bulan Syawal di antara ciri puasa
Ramadhannya diterima oleh Allah, karena apabila Allah menerima amal
ibadah seseorang, Allah akan memudahkan orang tersebut untuk melakukan
amal shaleh lainnya. Para ulama berkata: “Pahala kebaikan adalah dengan
kebaikan setelahnya. Siapa yang melakukan kebaikan, lalu setelahnya
diikuti dengan kebaikan lainnya, maka itu bukti diterimanya kebaikan
pertama”.
Keempat,
puasa enam hari di bulan Syawal di antara cara bersyukur kepada Allah.
Orang yang berpuasa Ramadhan berhak mendapatkan ampunan (maghfirah) dari
Allah atas segala dosa-dosanya yang telah lalu, dan tidak ada nikmat
yang paling berharga selain pengampunan Allah. Karena itu, mereka yang
telah berpuasa Ramadhan patut bersyukur atas nikmat ini, di antaranya
dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal. “Hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya, hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, dan supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).
Kelima,
puasa enam hari pada bulan Syawal, bukti bahwa kebaikan dan amal shaleh
tidak berakhir seiring berlalunya Ramadhan, akan tetapi terus berlanjut
selama hidup. Seorang ulama shaleh, Bisyir, pernah ditanya tentang
orang-orang yang hanya beribadah pada bulan Ramadhan, ia menjawab:
“Sejahat-jahat kaum adalah mereka yang hanya mengenal dan menyembah
Allah pada bulan Ramadhan saja”.
Imam
as-Syibly pernah ditanya: “Mana yang paling utama; apakah bulan Sya’ban
atau bulan Ramadhan?” Ia menjawab: “Jadilah hamba yang menyembah Allah
(rabbaniyyan) bukan yang menyembah bulan Ramadhan (ramadhaniyyan)”.
Marilah
kita mulai dari sekarang untuk melakukan puasa sunnat enam hari di bulan
Syawal ini. Di tengah orang-orang asik makan minum sementara kita
berpuasa, sungguh tersimpan pahala yang sangat luar biasa. Rasulullah
saw bersabda: “Sesungguhnya apabila orang yang sedang berpuasa berada di
tengah-tengah orang-orang berbuka, maka seluruh anggota tubuhnya
bertasbih kepada Allah, serta para malaikat mendoakannya: “Ya Allah,
ampunilah segala dosa dan kesalahannya serta sayangilah dia” (HR. Ibnu
Majah). Semoga.
Khawatir Amalannya
Tidak Diterima (Renungan Syawwal)
Dpc Wibanggai
Dari Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: سَأَلْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ:
"وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ": قَالَتْ
عَائِشَةُ: أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ؟ قَالَ:
"لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ
وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ
مِنْهُمْ، أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ". رواه
الترمذي (3175) ، وصححه الألباني (صحيح سنن الترمذي، 287/3(. ”Aku bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat ini
(al-Mu’minun ayat 60) ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah
mereka
berikan, dengan hati yang takut’. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata:”Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum khamr (minuman
keras) dan mencuri?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:”Bukan, wahai anak perempuan ash-Shiddiq (Abu Bakar). Akan
tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan sedekah, dan
mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orag-orag
yang bersegera dalam kebaikan.” (HR. Imam at-Tirmidzi dan dishahihkan
oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi (3/287)) Al-‘Alamah
al-Mubarkafuury rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’
at-Tirmidzi berkata: Makna {وَاَلَّذِينَ يُؤْتُونَ} yaitu orang-orang
yang memberi. {مَا آتَوْا} maksudnya, apa yang teelah mereka berikan
berupa sedekah dan amalal-amalan shalih. Makna {وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ}
maksudnya, mereka takut (khawatir) kalau amalan mereka tidak diterima.
Dan setelah itu {أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ}(Sesungguhnya
hanya kepada Rabb merekalah mereka akan kembali) maksudnya, karena
mereka yakin bahwa hanya kepada Allah mereka akan kembali. Sabda Nabi
{أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ} demikianlah redaksi
dalam riwayat ini. Dan yang ada dalam al-Qur’an {أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ}
maksudnya, mereka bersegera untuk melakukan amalan-amalan shalih.
{وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ} (dan mereka bersegera untuk kebaikan)
maksudnya dalam ilmu Allah. Ada yang mengatakan: Karena
kebaikan-kebaikan itulah ia mendahului (orang lain) menuju Surga atau
karenan kebaikan-kebaikan itu mereka mendahului (mengungguli) manusia.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:”Kebahagiaan dari Allah lebih
dahulu mereka dapatkan.” Dari penjelasan di atas sudah menjadi keharusan
bagi kita untuk khawatir kalau-kalau amalan-amalan kita tidak diterima,
dan kita juga seharusnya khwatir kalau-kalau ibadah puasa Ramadhan kita
tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan seperti sebagian
manusia yang mereka tidak bersemangat untuk menjadikan amalan (ketaatan)
mereka diterima. Karena sesungguhnya diberikan taufiq (kemudahan) oleh
Allah untuk melakukan amalan shalih adalah kenikmatan yang besar, namun
kenikmatan tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan kenikmatan yang
lebih besar dari itu, yaitu nikmat diterimanya amalan tersebut oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika seorang hamba mengetahui bahwa amalannya
bisa tertolak (tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)
dikarenakan banyak hal, maka sudah seharusnya pengetahuan tentang
sebab-sebab diterimanya amalan menjadi hal yang paling penting untuk
diketahui. Lalu jika ia mendapatkan hal itu ada pada dirinya, ia pun
memuji Allah dan bertahan dan terus menerus pada amalan tersebut, dan
jika ia tidak mendapatkannya maka hendaklah yang menjadi prioritasnya
mulai dari sekarang adalah melakukan sebab-sebab itu dan
mengikhlaskannya semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lantas
apa sebab-sebab diterimanya amal atau apa ciri-ciri dari orang yang
diterima amalannya? Di antara ciri-cirinya adalah: Tidak Kembali
Melakukan Dosa Setelah Melakukan Ketaatan Yahya bin Mu’adz rahimahullah
berkata:”Barang siapa yang beristighfar dengan lisannya, namun hatinya
terikat dengan maksiat, tekadnya ingin kembali melakukannya (maksiat)
setelah bulan (Ramadhan) lewat. Maka tertolak puasanya, dan pintu
penerimaan amal tertutup untuknya.” Rasa Khawatir Jika Amalannya
Tertolak Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh dengan
ketaatan kita dan ibadah kita, Dia berfirman: وَمَن يَشْكُرْ فَإنَّمَا
يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ) [لقمان:
12]، ”Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak
bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.
Luqman: 12) Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: (إن تَكْفُرُوا
فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإن
تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ) [الزمر: 7] ”Jika kamu kafir maka
sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai
kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai
bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 7) Dan seorang mukmin di
samping ia bersemangat dalam melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai macam ibadah, ia juga
khawatir dan takut kalau-kalau amalannya tidak diterima. Hal ini bisa
kita lihat dalam hadits di atas. Jadi seorang mukmin tidak berlebihan
dalam rasa percaya dirinya kalau amalannya diterima, namun dia merasa
takut kalau amalannya tertolak dan sekaligus berharap supaya Allah
Subhanahu wa Ta’ala menerima selurh amalan ibadahnya. Diberikan Taufiq
(Ilham) Untuk Melakukan Amalan Shalih Lain Setelahnya Sesungguhnya di
antara tanda diterimanya amalan ketaatan seseorang adalah ia diberikan
taufiq untuk melakukan ketaatan setelahnya, dan di antara tanda
diterimanya amalan kebaikan adalah diberikannya taufiq untuk melakukan
kebaikan setelahnya, karena kebaikan akan berkata:”Saudarku-saudaraku
(kemarilah). Dan ini salah satu bentuk rahmat dan kemurahan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang mana Dia memuliakan hamba-Nya jika ia
melakukan kebaikan dan mengikhlaskannya Dia akan membukakan untuk hamba
tersebut pintu kebaikan yang lain supaya hamba tersebut semakin dekat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka amal shalih ibarat sebuah pohon
yang baik, yang membutuhkan siraman dan pemeliharaan supaya ia tumbuh
dan kokoh dan kemudaian berbuah. Dan perkara penting yang kita butuhkan
adalah memperhatikan amalan shalih kita yang t elah kita amalkan, lalu
kita menjaganya (merutinkannya) dan menambahnya sedikit demi sedikit.
Dan inilah makna istiqamah. Menganggap Kecil Amalannya dan Tidak Merasa
Ujub dan Tepedaya Dengannya Sesungguhnya seorang hamba yang beriman
sekalipun ia mengerjakan dan mempersembahkan banyak amal shalih, namun
amalan shalih itu semua belum cukup untuk menunaikan syukur salah satu
nikmat Allah yang ada pada diri kita, seperti nikmat pendengaran,
penglihatan, ucapan dan lain-lain. Dan juga dengan amalannya tersebut ia
belum menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena hak-hak Allah
lebih besar dari itu. Oleh sebab itu salah satu sifat hamba yang ikhlash
adalah mereka menganggap kecil amalannya, dan menganggapnya tidak ada
apa-apanya. Hal itu supaya ia tidak merasa ujub (bangga diri) dengan
amalannya, dan agar ia tidak terpedaya dengannya yang akhirnya dapat
menghapuskan pahalanya dan membuatnya malas untuk melakukan amal shalih
yang lain. Di antara hal yang bisa membantu supaya seseorang menganggap
kecil amalannya adalah dengan ma’rifatullah (mengenal Allah), melihat
nikmat-Nya, mengingat-ingat dosanya dan kekurangannya (dalam menunaikan
hak Allah). Dan supaya ia juga memperhatikan bagaimana Allah Subhanahu
wa Ta’ala berwasiat kepada Nabi-Nya dengan hal itu, setelah Dia
memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan beerapa perintah, Dia berfirman: )
يا أيها المدثر. قم فأنذر. وربك فكبر. وثيابك فطهر. والرجز فاهجر. ولاتمنن
تستكثر) ” Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan
perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS.
Al-Mudatstsir: 1-6) Dan di antara makna ayat di atas adalah apa yang
dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah;”Janganlah engkau
mengungkit-ungkit amalanmu (ibadahmu) terhadap Rabbmudan engkau berharap
balasan yang lebih banyak.” Mencintai Ketaatan dan Membenci Kemaksiatan
Di antara ciri amalan yang diterima adalah Allah menjadikan hati
pelakunya mencintai kebaikan, sehingga hatinya pun cinta dan merasa
nyaman dan tenang dengan kebaikan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: )الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ
أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ )الرعد28 ” (yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram.”(QS. Ar-Ra’d: 28) Dan di antara tanda diterimanya amalan
adalah seseorang membenci kemaksiatan dan membenci untuk mendekati
kemaksiatan, dan ia pun berdoa kepada Allah agar Dia menjauhkannya dari
kemaksiatang seraya mengucapkan: اللهم حبب إليَّ الإيمان وزينه في قلبي
وكرَّه إليَّ الكفر والفسوق والعصيان واجعلني من الراشدين. Banyak Berharap
dan Berdoa Dimudahkan Untuk Melakukan Ketaatan dan Menjauhi Kemaksiatan
Subhanallah jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan ketaatanmu,
maka Allah akan memudahkanmu untuk melakukan ketaatan yang lainnya,
bahkan Dia akan menjauhkanmu dari kemaksiatan sekalipun engkau berusaha
mendekatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: (فَأَمَّا مَن أَعْطَى
وَاتَّقَى{5} وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى{6} فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى{7}
وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى{8} وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى{9}
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى{10})4-10 الليل ” Adapun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan
adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa
dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami
akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.”(QS. Al-Lail: 5-10)
Mencintai Orang Shalih dan Membenci Ahl Maksiat Banyak Beristighfar
Kontinyu Dalam Melakukan Amal Shalih Dan di antara petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah merutinnkan sebuah amalan. Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
إذا عمل عملاً أثبته) رواه مسلم. ”Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam apabila melakukan amalan beliau akan menetapinya
(merutinkannya).” (HR. Muslim) Dan amalan yang paling dicintai oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah amalan yang dirutinkan,
sekalipun sedikit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (
أحب الأعمال إلى الله أدومها وإن قل). متفق عليه. ”Amalan yang paling
dicintai oleh Allah adalah yang dirutinkan, sekalipun sedikit.”(Muttafaq
‘alaihi) أسأل الله جل وتعالى أن يجعلني وإياكم وجميع إخواننا المسلمين من
المقبولين، ممن تقبل الله صيامهم وقيامهم وحجهم وجميع طاعاتهم وكانوا من
عتقائه من النار. (Sumber: علامات قبول الطاعة karya Amir bin Muhammad,
Imam dan Khatib Masjid al-Iman Yaman di
http://www.saaid.net/Doat/ameer/55.htm.
Read more at: http://wahdah-banggai.blogspot.com/2011/09/khawatir-amalannya-tidak-diterima.html
Copyright wahdah-banggai.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Read more at: http://wahdah-banggai.blogspot.com/2011/09/khawatir-amalannya-tidak-diterima.html
Copyright wahdah-banggai.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Khawatir Amalannya
Tidak Diterima (Renungan Syawwal)
Dpc Wibanggai
Dari Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: سَأَلْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ:
"وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ": قَالَتْ
عَائِشَةُ: أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ؟ قَالَ:
"لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ
وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ
مِنْهُمْ، أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ". رواه
الترمذي (3175) ، وصححه الألباني (صحيح سنن الترمذي، 287/3(. ”Aku bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat ini
(al-Mu’minun ayat 60) ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah
mereka
berikan, dengan hati yang takut’. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata:”Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum khamr (minuman
keras) dan mencuri?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:”Bukan, wahai anak perempuan ash-Shiddiq (Abu Bakar). Akan
tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan sedekah, dan
mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orag-orag
yang bersegera dalam kebaikan.” (HR. Imam at-Tirmidzi dan dishahihkan
oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi (3/287)) Al-‘Alamah
al-Mubarkafuury rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’
at-Tirmidzi berkata: Makna {وَاَلَّذِينَ يُؤْتُونَ} yaitu orang-orang
yang memberi. {مَا آتَوْا} maksudnya, apa yang teelah mereka berikan
berupa sedekah dan amalal-amalan shalih. Makna {وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ}
maksudnya, mereka takut (khawatir) kalau amalan mereka tidak diterima.
Dan setelah itu {أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ}(Sesungguhnya
hanya kepada Rabb merekalah mereka akan kembali) maksudnya, karena
mereka yakin bahwa hanya kepada Allah mereka akan kembali. Sabda Nabi
{أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ} demikianlah redaksi
dalam riwayat ini. Dan yang ada dalam al-Qur’an {أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ}
maksudnya, mereka bersegera untuk melakukan amalan-amalan shalih.
{وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ} (dan mereka bersegera untuk kebaikan)
maksudnya dalam ilmu Allah. Ada yang mengatakan: Karena
kebaikan-kebaikan itulah ia mendahului (orang lain) menuju Surga atau
karenan kebaikan-kebaikan itu mereka mendahului (mengungguli) manusia.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:”Kebahagiaan dari Allah lebih
dahulu mereka dapatkan.” Dari penjelasan di atas sudah menjadi keharusan
bagi kita untuk khawatir kalau-kalau amalan-amalan kita tidak diterima,
dan kita juga seharusnya khwatir kalau-kalau ibadah puasa Ramadhan kita
tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan seperti sebagian
manusia yang mereka tidak bersemangat untuk menjadikan amalan (ketaatan)
mereka diterima. Karena sesungguhnya diberikan taufiq (kemudahan) oleh
Allah untuk melakukan amalan shalih adalah kenikmatan yang besar, namun
kenikmatan tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan kenikmatan yang
lebih besar dari itu, yaitu nikmat diterimanya amalan tersebut oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika seorang hamba mengetahui bahwa amalannya
bisa tertolak (tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)
dikarenakan banyak hal, maka sudah seharusnya pengetahuan tentang
sebab-sebab diterimanya amalan menjadi hal yang paling penting untuk
diketahui. Lalu jika ia mendapatkan hal itu ada pada dirinya, ia pun
memuji Allah dan bertahan dan terus menerus pada amalan tersebut, dan
jika ia tidak mendapatkannya maka hendaklah yang menjadi prioritasnya
mulai dari sekarang adalah melakukan sebab-sebab itu dan
mengikhlaskannya semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lantas
apa sebab-sebab diterimanya amal atau apa ciri-ciri dari orang yang
diterima amalannya? Di antara ciri-cirinya adalah: Tidak Kembali
Melakukan Dosa Setelah Melakukan Ketaatan Yahya bin Mu’adz rahimahullah
berkata:”Barang siapa yang beristighfar dengan lisannya, namun hatinya
terikat dengan maksiat, tekadnya ingin kembali melakukannya (maksiat)
setelah bulan (Ramadhan) lewat. Maka tertolak puasanya, dan pintu
penerimaan amal tertutup untuknya.” Rasa Khawatir Jika Amalannya
Tertolak Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh dengan
ketaatan kita dan ibadah kita, Dia berfirman: وَمَن يَشْكُرْ فَإنَّمَا
يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ) [لقمان:
12]، ”Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak
bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.
Luqman: 12) Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: (إن تَكْفُرُوا
فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإن
تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ) [الزمر: 7] ”Jika kamu kafir maka
sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai
kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai
bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 7) Dan seorang mukmin di
samping ia bersemangat dalam melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai macam ibadah, ia juga
khawatir dan takut kalau-kalau amalannya tidak diterima. Hal ini bisa
kita lihat dalam hadits di atas. Jadi seorang mukmin tidak berlebihan
dalam rasa percaya dirinya kalau amalannya diterima, namun dia merasa
takut kalau amalannya tertolak dan sekaligus berharap supaya Allah
Subhanahu wa Ta’ala menerima selurh amalan ibadahnya. Diberikan Taufiq
(Ilham) Untuk Melakukan Amalan Shalih Lain Setelahnya Sesungguhnya di
antara tanda diterimanya amalan ketaatan seseorang adalah ia diberikan
taufiq untuk melakukan ketaatan setelahnya, dan di antara tanda
diterimanya amalan kebaikan adalah diberikannya taufiq untuk melakukan
kebaikan setelahnya, karena kebaikan akan berkata:”Saudarku-saudaraku
(kemarilah). Dan ini salah satu bentuk rahmat dan kemurahan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang mana Dia memuliakan hamba-Nya jika ia
melakukan kebaikan dan mengikhlaskannya Dia akan membukakan untuk hamba
tersebut pintu kebaikan yang lain supaya hamba tersebut semakin dekat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka amal shalih ibarat sebuah pohon
yang baik, yang membutuhkan siraman dan pemeliharaan supaya ia tumbuh
dan kokoh dan kemudaian berbuah. Dan perkara penting yang kita butuhkan
adalah memperhatikan amalan shalih kita yang t elah kita amalkan, lalu
kita menjaganya (merutinkannya) dan menambahnya sedikit demi sedikit.
Dan inilah makna istiqamah. Menganggap Kecil Amalannya dan Tidak Merasa
Ujub dan Tepedaya Dengannya Sesungguhnya seorang hamba yang beriman
sekalipun ia mengerjakan dan mempersembahkan banyak amal shalih, namun
amalan shalih itu semua belum cukup untuk menunaikan syukur salah satu
nikmat Allah yang ada pada diri kita, seperti nikmat pendengaran,
penglihatan, ucapan dan lain-lain. Dan juga dengan amalannya tersebut ia
belum menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena hak-hak Allah
lebih besar dari itu. Oleh sebab itu salah satu sifat hamba yang ikhlash
adalah mereka menganggap kecil amalannya, dan menganggapnya tidak ada
apa-apanya. Hal itu supaya ia tidak merasa ujub (bangga diri) dengan
amalannya, dan agar ia tidak terpedaya dengannya yang akhirnya dapat
menghapuskan pahalanya dan membuatnya malas untuk melakukan amal shalih
yang lain. Di antara hal yang bisa membantu supaya seseorang menganggap
kecil amalannya adalah dengan ma’rifatullah (mengenal Allah), melihat
nikmat-Nya, mengingat-ingat dosanya dan kekurangannya (dalam menunaikan
hak Allah). Dan supaya ia juga memperhatikan bagaimana Allah Subhanahu
wa Ta’ala berwasiat kepada Nabi-Nya dengan hal itu, setelah Dia
memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan beerapa perintah, Dia berfirman: )
يا أيها المدثر. قم فأنذر. وربك فكبر. وثيابك فطهر. والرجز فاهجر. ولاتمنن
تستكثر) ” Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan
perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS.
Al-Mudatstsir: 1-6) Dan di antara makna ayat di atas adalah apa yang
dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah;”Janganlah engkau
mengungkit-ungkit amalanmu (ibadahmu) terhadap Rabbmudan engkau berharap
balasan yang lebih banyak.” Mencintai Ketaatan dan Membenci Kemaksiatan
Di antara ciri amalan yang diterima adalah Allah menjadikan hati
pelakunya mencintai kebaikan, sehingga hatinya pun cinta dan merasa
nyaman dan tenang dengan kebaikan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: )الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ
أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ )الرعد28 ” (yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram.”(QS. Ar-Ra’d: 28) Dan di antara tanda diterimanya amalan
adalah seseorang membenci kemaksiatan dan membenci untuk mendekati
kemaksiatan, dan ia pun berdoa kepada Allah agar Dia menjauhkannya dari
kemaksiatang seraya mengucapkan: اللهم حبب إليَّ الإيمان وزينه في قلبي
وكرَّه إليَّ الكفر والفسوق والعصيان واجعلني من الراشدين. Banyak Berharap
dan Berdoa Dimudahkan Untuk Melakukan Ketaatan dan Menjauhi Kemaksiatan
Subhanallah jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan ketaatanmu,
maka Allah akan memudahkanmu untuk melakukan ketaatan yang lainnya,
bahkan Dia akan menjauhkanmu dari kemaksiatan sekalipun engkau berusaha
mendekatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: (فَأَمَّا مَن أَعْطَى
وَاتَّقَى{5} وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى{6} فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى{7}
وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى{8} وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى{9}
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى{10})4-10 الليل ” Adapun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan
adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa
dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami
akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.”(QS. Al-Lail: 5-10)
Mencintai Orang Shalih dan Membenci Ahl Maksiat Banyak Beristighfar
Kontinyu Dalam Melakukan Amal Shalih Dan di antara petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah merutinnkan sebuah amalan. Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
إذا عمل عملاً أثبته) رواه مسلم. ”Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam apabila melakukan amalan beliau akan menetapinya
(merutinkannya).” (HR. Muslim) Dan amalan yang paling dicintai oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah amalan yang dirutinkan,
sekalipun sedikit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (
أحب الأعمال إلى الله أدومها وإن قل). متفق عليه. ”Amalan yang paling
dicintai oleh Allah adalah yang dirutinkan, sekalipun sedikit.”(Muttafaq
‘alaihi) أسأل الله جل وتعالى أن يجعلني وإياكم وجميع إخواننا المسلمين من
المقبولين، ممن تقبل الله صيامهم وقيامهم وحجهم وجميع طاعاتهم وكانوا من
عتقائه من النار. (Sumber: علامات قبول الطاعة karya Amir bin Muhammad,
Imam dan Khatib Masjid al-Iman Yaman di
http://www.saaid.net/Doat/ameer/55.htm.
Read more at: http://wahdah-banggai.blogspot.com/2011/09/khawatir-amalannya-tidak-diterima.html
Copyright wahdah-banggai.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Read more at: http://wahdah-banggai.blogspot.com/2011/09/khawatir-amalannya-tidak-diterima.html
Copyright wahdah-banggai.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Khawatir Amalannya
Tidak Diterima (Renungan Syawwal)
Dpc Wibanggai
Dari Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: سَأَلْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ:
"وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ": قَالَتْ
عَائِشَةُ: أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ؟ قَالَ:
"لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ
وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ
مِنْهُمْ، أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ". رواه
الترمذي (3175) ، وصححه الألباني (صحيح سنن الترمذي، 287/3(. ”Aku bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat ini
(al-Mu’minun ayat 60) ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah
mereka
berikan, dengan hati yang takut’. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata:”Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum khamr (minuman
keras) dan mencuri?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:”Bukan, wahai anak perempuan ash-Shiddiq (Abu Bakar). Akan
tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan sedekah, dan
mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orag-orag
yang bersegera dalam kebaikan.” (HR. Imam at-Tirmidzi dan dishahihkan
oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi (3/287)) Al-‘Alamah
al-Mubarkafuury rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’
at-Tirmidzi berkata: Makna {وَاَلَّذِينَ يُؤْتُونَ} yaitu orang-orang
yang memberi. {مَا آتَوْا} maksudnya, apa yang teelah mereka berikan
berupa sedekah dan amalal-amalan shalih. Makna {وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ}
maksudnya, mereka takut (khawatir) kalau amalan mereka tidak diterima.
Dan setelah itu {أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ}(Sesungguhnya
hanya kepada Rabb merekalah mereka akan kembali) maksudnya, karena
mereka yakin bahwa hanya kepada Allah mereka akan kembali. Sabda Nabi
{أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ} demikianlah redaksi
dalam riwayat ini. Dan yang ada dalam al-Qur’an {أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ}
maksudnya, mereka bersegera untuk melakukan amalan-amalan shalih.
{وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ} (dan mereka bersegera untuk kebaikan)
maksudnya dalam ilmu Allah. Ada yang mengatakan: Karena
kebaikan-kebaikan itulah ia mendahului (orang lain) menuju Surga atau
karenan kebaikan-kebaikan itu mereka mendahului (mengungguli) manusia.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:”Kebahagiaan dari Allah lebih
dahulu mereka dapatkan.” Dari penjelasan di atas sudah menjadi keharusan
bagi kita untuk khawatir kalau-kalau amalan-amalan kita tidak diterima,
dan kita juga seharusnya khwatir kalau-kalau ibadah puasa Ramadhan kita
tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan seperti sebagian
manusia yang mereka tidak bersemangat untuk menjadikan amalan (ketaatan)
mereka diterima. Karena sesungguhnya diberikan taufiq (kemudahan) oleh
Allah untuk melakukan amalan shalih adalah kenikmatan yang besar, namun
kenikmatan tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan kenikmatan yang
lebih besar dari itu, yaitu nikmat diterimanya amalan tersebut oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika seorang hamba mengetahui bahwa amalannya
bisa tertolak (tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)
dikarenakan banyak hal, maka sudah seharusnya pengetahuan tentang
sebab-sebab diterimanya amalan menjadi hal yang paling penting untuk
diketahui. Lalu jika ia mendapatkan hal itu ada pada dirinya, ia pun
memuji Allah dan bertahan dan terus menerus pada amalan tersebut, dan
jika ia tidak mendapatkannya maka hendaklah yang menjadi prioritasnya
mulai dari sekarang adalah melakukan sebab-sebab itu dan
mengikhlaskannya semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lantas
apa sebab-sebab diterimanya amal atau apa ciri-ciri dari orang yang
diterima amalannya? Di antara ciri-cirinya adalah: Tidak Kembali
Melakukan Dosa Setelah Melakukan Ketaatan Yahya bin Mu’adz rahimahullah
berkata:”Barang siapa yang beristighfar dengan lisannya, namun hatinya
terikat dengan maksiat, tekadnya ingin kembali melakukannya (maksiat)
setelah bulan (Ramadhan) lewat. Maka tertolak puasanya, dan pintu
penerimaan amal tertutup untuknya.” Rasa Khawatir Jika Amalannya
Tertolak Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh dengan
ketaatan kita dan ibadah kita, Dia berfirman: وَمَن يَشْكُرْ فَإنَّمَا
يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ) [لقمان:
12]، ”Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak
bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.
Luqman: 12) Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: (إن تَكْفُرُوا
فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإن
تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ) [الزمر: 7] ”Jika kamu kafir maka
sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai
kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai
bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 7) Dan seorang mukmin di
samping ia bersemangat dalam melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai macam ibadah, ia juga
khawatir dan takut kalau-kalau amalannya tidak diterima. Hal ini bisa
kita lihat dalam hadits di atas. Jadi seorang mukmin tidak berlebihan
dalam rasa percaya dirinya kalau amalannya diterima, namun dia merasa
takut kalau amalannya tertolak dan sekaligus berharap supaya Allah
Subhanahu wa Ta’ala menerima selurh amalan ibadahnya. Diberikan Taufiq
(Ilham) Untuk Melakukan Amalan Shalih Lain Setelahnya Sesungguhnya di
antara tanda diterimanya amalan ketaatan seseorang adalah ia diberikan
taufiq untuk melakukan ketaatan setelahnya, dan di antara tanda
diterimanya amalan kebaikan adalah diberikannya taufiq untuk melakukan
kebaikan setelahnya, karena kebaikan akan berkata:”Saudarku-saudaraku
(kemarilah). Dan ini salah satu bentuk rahmat dan kemurahan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang mana Dia memuliakan hamba-Nya jika ia
melakukan kebaikan dan mengikhlaskannya Dia akan membukakan untuk hamba
tersebut pintu kebaikan yang lain supaya hamba tersebut semakin dekat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka amal shalih ibarat sebuah pohon
yang baik, yang membutuhkan siraman dan pemeliharaan supaya ia tumbuh
dan kokoh dan kemudaian berbuah. Dan perkara penting yang kita butuhkan
adalah memperhatikan amalan shalih kita yang t elah kita amalkan, lalu
kita menjaganya (merutinkannya) dan menambahnya sedikit demi sedikit.
Dan inilah makna istiqamah. Menganggap Kecil Amalannya dan Tidak Merasa
Ujub dan Tepedaya Dengannya Sesungguhnya seorang hamba yang beriman
sekalipun ia mengerjakan dan mempersembahkan banyak amal shalih, namun
amalan shalih itu semua belum cukup untuk menunaikan syukur salah satu
nikmat Allah yang ada pada diri kita, seperti nikmat pendengaran,
penglihatan, ucapan dan lain-lain. Dan juga dengan amalannya tersebut ia
belum menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena hak-hak Allah
lebih besar dari itu. Oleh sebab itu salah satu sifat hamba yang ikhlash
adalah mereka menganggap kecil amalannya, dan menganggapnya tidak ada
apa-apanya. Hal itu supaya ia tidak merasa ujub (bangga diri) dengan
amalannya, dan agar ia tidak terpedaya dengannya yang akhirnya dapat
menghapuskan pahalanya dan membuatnya malas untuk melakukan amal shalih
yang lain. Di antara hal yang bisa membantu supaya seseorang menganggap
kecil amalannya adalah dengan ma’rifatullah (mengenal Allah), melihat
nikmat-Nya, mengingat-ingat dosanya dan kekurangannya (dalam menunaikan
hak Allah). Dan supaya ia juga memperhatikan bagaimana Allah Subhanahu
wa Ta’ala berwasiat kepada Nabi-Nya dengan hal itu, setelah Dia
memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan beerapa perintah, Dia berfirman: )
يا أيها المدثر. قم فأنذر. وربك فكبر. وثيابك فطهر. والرجز فاهجر. ولاتمنن
تستكثر) ” Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan
perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS.
Al-Mudatstsir: 1-6) Dan di antara makna ayat di atas adalah apa yang
dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah;”Janganlah engkau
mengungkit-ungkit amalanmu (ibadahmu) terhadap Rabbmudan engkau berharap
balasan yang lebih banyak.” Mencintai Ketaatan dan Membenci Kemaksiatan
Di antara ciri amalan yang diterima adalah Allah menjadikan hati
pelakunya mencintai kebaikan, sehingga hatinya pun cinta dan merasa
nyaman dan tenang dengan kebaikan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: )الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ
أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ )الرعد28 ” (yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram.”(QS. Ar-Ra’d: 28) Dan di antara tanda diterimanya amalan
adalah seseorang membenci kemaksiatan dan membenci untuk mendekati
kemaksiatan, dan ia pun berdoa kepada Allah agar Dia menjauhkannya dari
kemaksiatang seraya mengucapkan: اللهم حبب إليَّ الإيمان وزينه في قلبي
وكرَّه إليَّ الكفر والفسوق والعصيان واجعلني من الراشدين. Banyak Berharap
dan Berdoa Dimudahkan Untuk Melakukan Ketaatan dan Menjauhi Kemaksiatan
Subhanallah jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan ketaatanmu,
maka Allah akan memudahkanmu untuk melakukan ketaatan yang lainnya,
bahkan Dia akan menjauhkanmu dari kemaksiatan sekalipun engkau berusaha
mendekatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: (فَأَمَّا مَن أَعْطَى
وَاتَّقَى{5} وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى{6} فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى{7}
وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى{8} وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى{9}
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى{10})4-10 الليل ” Adapun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan
adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa
dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami
akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.”(QS. Al-Lail: 5-10)
Mencintai Orang Shalih dan Membenci Ahl Maksiat Banyak Beristighfar
Kontinyu Dalam Melakukan Amal Shalih Dan di antara petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah merutinnkan sebuah amalan. Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
إذا عمل عملاً أثبته) رواه مسلم. ”Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam apabila melakukan amalan beliau akan menetapinya
(merutinkannya).” (HR. Muslim) Dan amalan yang paling dicintai oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah amalan yang dirutinkan,
sekalipun sedikit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (
أحب الأعمال إلى الله أدومها وإن قل). متفق عليه. ”Amalan yang paling
dicintai oleh Allah adalah yang dirutinkan, sekalipun sedikit.”(Muttafaq
‘alaihi) أسأل الله جل وتعالى أن يجعلني وإياكم وجميع إخواننا المسلمين من
المقبولين، ممن تقبل الله صيامهم وقيامهم وحجهم وجميع طاعاتهم وكانوا من
عتقائه من النار. (Sumber: علامات قبول الطاعة karya Amir bin Muhammad,
Imam dan Khatib Masjid al-Iman Yaman di
http://www.saaid.net/Doat/ameer/55.htm.
Read more at: http://wahdah-banggai.blogspot.com/2011/09/khawatir-amalannya-tidak-diterima.html
Copyright wahdah-banggai.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Read more at: http://wahdah-banggai.blogspot.com/2011/09/khawatir-amalannya-tidak-diterima.html
Copyright wahdah-banggai.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Keutamaan Puasa Syawal
Written by admin on J September 2010
Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian
diikuti enam hari pada bulan Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa
satu tahun” (HR. Muslim).
Puasa enam
hari pada bulan Syawal termasuk puasa sunnat. Rasulullah saw sangat
menganjurkannya, sampai dalam hadits di atas pahalanya sama dengan
pahala satu tahun.
Abu
Hurairah berkata: “Pahalanya satu tahun, karena setiap hari pahalanya
sama dengan puasa sepuluh hari. Tiga puluh hari ramadhan sama dengan
tiga ratus hari ditambah enam hari bulan syawal sama dengan enam puluh
hari, sehingga jumlah seluruhnya adalah tiga ratus enam puluh hari yakni
satu tahun. Hal ini, karena Allah berfirman: “Barangsiapa membawa amal
yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” (QS.
Al-An’am: 160)”.
Puasa ini
boleh dilakukan berurutan sejak tanggal dua syawal, sebagaimana pendapat
Imam Syafi’i, atau boleh juga tidak berurutan yang penting enam hari
pada bulan Syawal sebagaimana pendapat Jumhur ulama seperti Imam Waki’
dan Imam Ahmad.
Di antara manfaat puasa Syawal ini sebagaimana dituturkan Ibnu Rajab adalah sebagai berikut:
Pertama, puasa enam hari pada bulan Syawal pahalanya sama dengan puasa satu tahun penuh sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Kedua,
puasa pada bulan Syawal dan Sya’ban seperti shalat sunnat rawatib.
Fungsinya untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan dalam shalat wajib.
Karena, kelak pada hari Kiamat, pahala wajib dapat disempurnakan dengan
amalan sunnat.
Ketiga,
dengan puasa enam hari pada bulan Syawal di antara ciri puasa
Ramadhannya diterima oleh Allah, karena apabila Allah menerima amal
ibadah seseorang, Allah akan memudahkan orang tersebut untuk melakukan
amal shaleh lainnya. Para ulama berkata: “Pahala kebaikan adalah dengan
kebaikan setelahnya. Siapa yang melakukan kebaikan, lalu setelahnya
diikuti dengan kebaikan lainnya, maka itu bukti diterimanya kebaikan
pertama”.
Keempat,
puasa enam hari di bulan Syawal di antara cara bersyukur kepada Allah.
Orang yang berpuasa Ramadhan berhak mendapatkan ampunan (maghfirah) dari
Allah atas segala dosa-dosanya yang telah lalu, dan tidak ada nikmat
yang paling berharga selain pengampunan Allah. Karena itu, mereka yang
telah berpuasa Ramadhan patut bersyukur atas nikmat ini, di antaranya
dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal. “Hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya, hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, dan supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).
Kelima,
puasa enam hari pada bulan Syawal, bukti bahwa kebaikan dan amal shaleh
tidak berakhir seiring berlalunya Ramadhan, akan tetapi terus berlanjut
selama hidup. Seorang ulama shaleh, Bisyir, pernah ditanya tentang
orang-orang yang hanya beribadah pada bulan Ramadhan, ia menjawab:
“Sejahat-jahat kaum adalah mereka yang hanya mengenal dan menyembah
Allah pada bulan Ramadhan saja”.
Imam
as-Syibly pernah ditanya: “Mana yang paling utama; apakah bulan Sya’ban
atau bulan Ramadhan?” Ia menjawab: “Jadilah hamba yang menyembah Allah
(rabbaniyyan) bukan yang menyembah bulan Ramadhan (ramadhaniyyan)”.
Marilah
kita mulai dari sekarang untuk melakukan puasa sunnat enam hari di bulan
Syawal ini. Di tengah orang-orang asik makan minum sementara kita
berpuasa, sungguh tersimpan pahala yang sangat luar biasa. Rasulullah
saw bersabda: “Sesungguhnya apabila orang yang sedang berpuasa berada di
tengah-tengah orang-orang berbuka, maka seluruh anggota tubuhnya
bertasbih kepada Allah, serta para malaikat mendoakannya: “Ya Allah,
ampunilah segala dosa dan kesalahannya serta sayangilah dia” (HR. Ibnu
Majah). Semoga. Keutamaan Puasa Syawal
Written by admin on J September 2010
Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian
diikuti enam hari pada bulan Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa
satu tahun” (HR. Muslim).
Puasa enam
hari pada bulan Syawal termasuk puasa sunnat. Rasulullah saw sangat
menganjurkannya, sampai dalam hadits di atas pahalanya sama dengan
pahala satu tahun.
Abu
Hurairah berkata: “Pahalanya satu tahun, karena setiap hari pahalanya
sama dengan puasa sepuluh hari. Tiga puluh hari ramadhan sama dengan
tiga ratus hari ditambah enam hari bulan syawal sama dengan enam puluh
hari, sehingga jumlah seluruhnya adalah tiga ratus enam puluh hari yakni
satu tahun. Hal ini, karena Allah berfirman: “Barangsiapa membawa amal
yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” (QS.
Al-An’am: 160)”.
Puasa ini
boleh dilakukan berurutan sejak tanggal dua syawal, sebagaimana pendapat
Imam Syafi’i, atau boleh juga tidak berurutan yang penting enam hari
pada bulan Syawal sebagaimana pendapat Jumhur ulama seperti Imam Waki’
dan Imam Ahmad.
Di antara manfaat puasa Syawal ini sebagaimana dituturkan Ibnu Rajab adalah sebagai berikut:
Pertama, puasa enam hari pada bulan Syawal pahalanya sama dengan puasa satu tahun penuh sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Kedua,
puasa pada bulan Syawal dan Sya’ban seperti shalat sunnat rawatib.
Fungsinya untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan dalam shalat wajib.
Karena, kelak pada hari Kiamat, pahala wajib dapat disempurnakan dengan
amalan sunnat.
Ketiga,
dengan puasa enam hari pada bulan Syawal di antara ciri puasa
Ramadhannya diterima oleh Allah, karena apabila Allah menerima amal
ibadah seseorang, Allah akan memudahkan orang tersebut untuk melakukan
amal shaleh lainnya. Para ulama berkata: “Pahala kebaikan adalah dengan
kebaikan setelahnya. Siapa yang melakukan kebaikan, lalu setelahnya
diikuti dengan kebaikan lainnya, maka itu bukti diterimanya kebaikan
pertama”.
Keempat,
puasa enam hari di bulan Syawal di antara cara bersyukur kepada Allah.
Orang yang berpuasa Ramadhan berhak mendapatkan ampunan (maghfirah) dari
Allah atas segala dosa-dosanya yang telah lalu, dan tidak ada nikmat
yang paling berharga selain pengampunan Allah. Karena itu, mereka yang
telah berpuasa Ramadhan patut bersyukur atas nikmat ini, di antaranya
dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal. “Hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya, hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, dan supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).
Kelima,
puasa enam hari pada bulan Syawal, bukti bahwa kebaikan dan amal shaleh
tidak berakhir seiring berlalunya Ramadhan, akan tetapi terus berlanjut
selama hidup. Seorang ulama shaleh, Bisyir, pernah ditanya tentang
orang-orang yang hanya beribadah pada bulan Ramadhan, ia menjawab:
“Sejahat-jahat kaum adalah mereka yang hanya mengenal dan menyembah
Allah pada bulan Ramadhan saja”.
Imam
as-Syibly pernah ditanya: “Mana yang paling utama; apakah bulan Sya’ban
atau bulan Ramadhan?” Ia menjawab: “Jadilah hamba yang menyembah Allah
(rabbaniyyan) bukan yang menyembah bulan Ramadhan (ramadhaniyyan)”.
Marilah
kita mulai dari sekarang untuk melakukan puasa sunnat enam hari di bulan
Syawal ini. Di tengah orang-orang asik makan minum sementara kita
berpuasa, sungguh tersimpan pahala yang sangat luar biasa. Rasulullah
saw bersabda: “Sesungguhnya apabila orang yang sedang berpuasa berada di
tengah-tengah orang-orang berbuka, maka seluruh anggota tubuhnya
bertasbih kepada Allah, serta para malaikat mendoakannya: “Ya Allah,
ampunilah segala dosa dan kesalahannya serta sayangilah dia” (HR. Ibnu
Majah). Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar