Senin, 05 Mei 2014

Istiqamah

 
Syahdan, ada seorang ayah dan anak yang sedang bepergian dengan membawa keledai. Awalnya, sang ayah yang menaiki keledai, sementara anaknya berjalan di belakangnya. Dalam perja­lanan, ada seseorang yang men­cemooh si ayah karena membiarkan si anak berjalan sementara ia enak-enakan menaiki keledai.
Mendengar hal itu, sang ayah pun turun dan menyuruh sang anak untuk naik. Dalam perjalanan selanjutnya, ada seseorang yang mengatakan bahwa dengan membiarkan anaknya menaiki keledai, sementara sang ayah berjalan, berarti dia tidak mengajarkan sopan santun kepada anaknya.
Akhirnya, mereka berdua menaiki keledainya. Dalam perjalanan, seorang pecinta binatang mengatakan bahwa mereka telah melakukan penyiksaan terhadap keledai peliharaannya. Karena itu, mereka berdua kemudian ber­inisiatif menggendong keledai itu. Sontak, orang-orang tertawa. Mereka pun ditangkap lalu dibawa ke rumah sakit jiwa karena dianggap tidak waras.
Kisah di atas menunjukkan bahwa ayah maupun anaknya tidak tahu mana yang baik untuk dikerjakan, di antara empat cara bepergian bersama keledainya itu. Di sinilah pentingnya ilmu bagi seseorang. Itu pun belum cukup karena masih dibutuhkan konsistensi dan pendirian yang kuat. Seandainya mereka bergantian naiknya, dan tidak memedulikan komentar orang, pasti tidak mengalami kejadian seperti itu.
Pelajaran lain yang kita petik dari kisah di atas bahwa baik menurut orang lain belum tentu baik bagi yang melakukan. Begitu juga sebaliknya. Yang benar, selalu konsisten dalam melakukan kebaikan, meskipun banyak yang mencela. Inilah yang disebut dengan istiqamah dalam berbuat kebaikan.
Islam menyuruh umatnya agar senantiasa beristi­qamah—baik dalam hal menuntut ilmu, mencari rezeki, maupun beribadah kepada Allah SWT. Itulah kunci kesuksesan. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah ra., pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang terus menerus meskipun hanya sedikit (dawam).
Sebagai gambaran, orang yang bekerja dalam sehari hanya mendapatkan uang Rp 5.000, tapi tidak pernah absen selama 1 bulan akan mendapat hasil lebih banyak daripada orang yang seharinya bisa mendapatkan Rp 50.000 tetapi hanya masuk kerja sekali atau dua kali.
Memang, untuk bisa istiqamah perlu latihan dan pembiasaan, bahkan pak­sa­an. Karenanya, per­lu memper­hatikan hal-hal berikut ini. Pertama, memper­banyak membaca al-Qur’an serta menghayati isinya. Dengan mem­baca al-Qur’an, hati menjadi tenang. Selama hati penuh dengan kegelisahan, sangat sulit untuk beristiqamah.
Kedua, menjauhkan diri dari maksiat. Karena termasuk yang menghalangi seseorang mendapatkan hidayah Allah SWT adalah seringnya melakukan perbuatan maksiat. Seperti kata Imam Syafi’i bahwa hidayah (nurullah) tidak akan diberikan kepada para pelaku maksiat.
Ketiga, menghindari kebiasaan malas dan lemah. Rasulullah SAW selalu berdoa agar dilindungi dari dua penyakit tersebut. Telah terbukti, banyak orang tidak tercapai keinginannya karena tidak bisa membuang rasa malas dan lemah.
Keempat, bergaul dengan kaum bijak bestari. Teman yang baik akan memberi pengaruh yang baik pula. Begitu juga sebaliknya. Rasulullah SAW mencontohkan teman yang baik itu seperti penjual minyak wangi. Meski tidak membeli, minimal kita ikut mencium bau wanginya.
Kelima, ketika dalam hati timbul rasa pesimis atau frustrasi, tetaplah yakin sambil bersabar. Ingatlah, se­tiap kebahagiaan selalu diawali dengan kesusahan. Sebagai­mana surga yang diselimuti dengan ketidakenakan dan neraka dengan kenikmatan.
Keenam, berdoa kepada Allah SWT, memohon tuntunan-Nya agar bisa beristiqamah. Berdoa berarti memohon pertolongan. Tanpa pertolongan Allah, usaha yang kita lakukan hanya akan sia-sia.
Selama teguh pendirian dalam bertauhid dan beramal saleh, orang yang senantiasa istiqamah akan dihindarkan dari perasaan takut dan sedih. Bahkan, dia akan men­dapatkan kemuliaan dan derajat yang tinggi. Abu bakar ash-Shiddiq pernah berkata, “Istiqamah itu lebih baik daripada seribu karamah.” Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar