Syahdan, ada seorang ayah dan
anak yang sedang bepergian dengan membawa keledai. Awalnya, sang ayah yang
menaiki keledai, sementara anaknya berjalan di belakangnya. Dalam perjalanan,
ada seseorang yang mencemooh si ayah karena membiarkan si anak berjalan
sementara ia enak-enakan menaiki keledai.
Mendengar hal itu, sang ayah pun
turun dan menyuruh sang anak untuk naik. Dalam perjalanan selanjutnya, ada
seseorang yang mengatakan bahwa dengan membiarkan anaknya menaiki keledai,
sementara sang ayah berjalan, berarti dia tidak mengajarkan sopan santun kepada
anaknya.
Akhirnya, mereka berdua menaiki
keledainya. Dalam perjalanan, seorang pecinta binatang mengatakan bahwa mereka
telah melakukan penyiksaan terhadap keledai peliharaannya. Karena itu, mereka
berdua kemudian berinisiatif menggendong keledai itu. Sontak, orang-orang tertawa.
Mereka pun ditangkap lalu dibawa ke rumah sakit jiwa karena dianggap tidak
waras.
Kisah di atas menunjukkan bahwa
ayah maupun anaknya tidak tahu mana yang baik untuk dikerjakan, di antara empat
cara bepergian bersama keledainya itu. Di sinilah pentingnya ilmu bagi
seseorang. Itu pun belum cukup karena masih dibutuhkan konsistensi dan
pendirian yang kuat. Seandainya mereka bergantian naiknya, dan tidak
memedulikan komentar orang, pasti tidak mengalami kejadian seperti itu.
Pelajaran lain yang kita petik
dari kisah di atas bahwa baik menurut orang lain belum tentu baik bagi yang
melakukan. Begitu juga sebaliknya. Yang benar, selalu konsisten dalam melakukan
kebaikan, meskipun banyak yang mencela. Inilah yang disebut dengan istiqamah
dalam berbuat kebaikan.
Islam menyuruh umatnya agar
senantiasa beristiqamah—baik dalam hal menuntut ilmu, mencari rezeki, maupun
beribadah kepada Allah SWT. Itulah kunci kesuksesan. Sebagaimana
dikatakan ‘Aisyah ra., pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang terus menerus
meskipun hanya sedikit (dawam).
Sebagai gambaran, orang yang
bekerja dalam sehari hanya mendapatkan uang Rp 5.000, tapi tidak pernah absen
selama 1 bulan akan mendapat hasil lebih banyak daripada orang yang seharinya
bisa mendapatkan Rp 50.000 tetapi hanya masuk kerja sekali atau dua kali.
Memang, untuk bisa istiqamah
perlu latihan dan pembiasaan, bahkan paksaan. Karenanya, perlu
memperhatikan hal-hal berikut ini. Pertama, memperbanyak
membaca al-Qur’an serta menghayati isinya. Dengan membaca al-Qur’an, hati
menjadi tenang. Selama hati penuh dengan kegelisahan, sangat sulit untuk
beristiqamah.
Kedua, menjauhkan diri
dari maksiat. Karena termasuk yang menghalangi seseorang mendapatkan
hidayah Allah SWT adalah seringnya melakukan perbuatan maksiat. Seperti kata
Imam Syafi’i bahwa hidayah (nurullah) tidak akan diberikan kepada
para pelaku maksiat.
Ketiga, menghindari
kebiasaan malas dan lemah. Rasulullah SAW selalu berdoa agar dilindungi dari
dua penyakit tersebut. Telah terbukti, banyak orang tidak tercapai keinginannya
karena tidak bisa membuang rasa malas dan lemah.
Keempat, bergaul dengan
kaum bijak bestari. Teman yang baik akan memberi pengaruh yang baik pula.
Begitu juga sebaliknya. Rasulullah SAW mencontohkan teman yang baik itu seperti
penjual minyak wangi. Meski tidak membeli, minimal kita ikut mencium bau
wanginya.
Kelima, ketika dalam hati
timbul rasa pesimis atau frustrasi, tetaplah yakin sambil bersabar. Ingatlah,
setiap kebahagiaan selalu diawali dengan kesusahan. Sebagaimana surga yang
diselimuti dengan ketidakenakan dan neraka dengan kenikmatan.
Keenam, berdoa kepada
Allah SWT, memohon tuntunan-Nya agar bisa beristiqamah. Berdoa berarti memohon
pertolongan. Tanpa pertolongan Allah, usaha yang kita lakukan hanya akan
sia-sia.
Selama teguh pendirian dalam bertauhid dan beramal
saleh, orang yang senantiasa istiqamah akan dihindarkan dari perasaan takut dan
sedih. Bahkan, dia akan mendapatkan kemuliaan dan derajat yang tinggi. Abu
bakar ash-Shiddiq pernah berkata, “Istiqamah itu lebih baik
daripada seribu karamah.” Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar