“dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. asy
Syams:7-10)
Dunia
kedokteran modern tidak hanya mengenal penyembuhan fisik tapi harus diikuti
dengan penyembuhan mental. Ilmu medis psikosomatis (psychosomatic medicine) menjadi kajian penting dalam kedokteran modern.
Kebanyakan para dokter ahli, menerapkan konsep itu dalam menangani pasien.
Praktiknya seorang dokter dengan pendekatan psikosomatik akan membutuhkan waktu
panjang dalam melakukan terapi kepada pasien, tapi hasilnya sangat baik.
Konsep penyembuhan holistik itu telah dilakukan Ibn
Sina (980-1037
M). Dalam pendekatan holistik, keseimbangan elemen dan unsur tubuh menjadi satu
prasyarat untuk penyembuhan penyakit. Manusia dipandang sebagai satu kesatuan
yang utuh antara unsur jasmani dan unsur rohani. Sehat jasmani mempengaruhi
sehat ruhani dan begitu sebaliknya. Maka menyembuhkan satu unsur lalu
mengabaikan unsur yang lain tidak akan mendapatkan hasil yang baik.
Bangunan kedokteran Ibn Sina
Ibn Sina membagi ilmu kedokteran menjadi dua: ath-thibb an-nazhari (kedokteran teoritis) dan ath-thibb al-’amali (kedokteran praktis). Yang pertama adalah ilmu tentang
pokok-pokok
kedokteran dan yang kedua adalah ilmu tatacara menggunakan kedokteran itu.
Kedokteran teoritis meliputi
lima cabang yaitu, Anatomi (Ilm at-Tasyrih),
Fisiologi (Ilm al-Umur ath-Thabi’iyyah),
Patologi (Ilm Ahwal al-Badan), Etiologi
(Ilm al-Asbab), dan Simtomatologi (Ilm bi ad-Dalail). Sedang kedokteran praktis meliputi dua cabang utama
yaitu Ilmu Kesehatan (Ilm ash-shihhah)
dan Ilmu Pengobatan (Ilm al-’Ilaj).
Ilmu kesehatan berarti
penjagaan kesehatan (hifz al-shihhah).
Ilmu kesehatan merupakan cabang kedokteran Islam paling penting karena ilmu
inilah yang lebih memperhatikan pencegahan penyakit (al-wiqayah) daripada pengobatannya (al-’ilaj). Prinsipnya, al-wiqayah khair min al-’ilaj (pencegahan
penyakit itu lebih baik daripada pengobatan). Ada enam prinsip (as-sittah adh-dharuriyyah) dalam menjaga kesehatan, yaitu: hawa (udara),
ma’kul wa masyrub (makanan dan minuman), harakah wa sukun badani (gerak
dan istirahat), naum wa yaqdhah (tidur dan jaga), harakah wa sukun
nafsi (gerak dan diam psikis), dan istifragh wa ihtibas (ekskresi
dan retensi).
Ibn Sina mendefinisikan ash-shihhah (kesehatan)
sebagai suatu karakter atau keadaan yang memungkinkan aktivitas manusia dapat
tercapai secara normal. Dalam definisi ini, maka kesehatan mencakup semua jenis
kesehatan, baik kesehatan jasmani, kesehatan mental, maupun kesehatan sosial.
Bila tubuh berada dalam tabiat dan susunannya, sehingga muncul perbuatan-perbuatan yang semuanya normal
dan sempurna, maka tubuh itu sehat. Sebaliknya, bila tubuh itu berlawanan dari
kondisi di atas, ketika organ tubuh tidak dapat melaksanakan aktifitasnya
secara sempurna, berarti tubuh itu dalam kondisi tidak sehat alias sakit (maradh).
Udara bersih
Untuk menjaga kesehatan, kita harus selalu berada pada
udara yang bersih. Ibn Sina mengistilahkan dengan al-hawa’ al-jayyid (udara bersih). Ibn Sina merekomendasikan kepada
pemerintah waktu itu agar dalam membuat tata ruang kota dengan memperhatikan
keseimbangan ekologis sehingga menghasilkan udara segar dan iklim yang
kondusif. Udara yang sehat menghasilkan masyarakat yang sehat.
Rekomendasi Ibn Sina tersebut relevan dengan hasil
penelitian yang menyebutkan bahwa asap kendaraan memicu terjadikan penyakit
mental. Sebuah situs kesehatan (www.detikhealth.com) menulis bahwa tingkat
polusi yang tinggi sangat membahayakan, tidak hanya memicu penyakit fisik tapi
juga memicu penyakit mental, yaitu sifat agresif dan gelisah.
Maka
disamping menghindari terjadinya polusi dari asap kendaraan, kebakaran, rokok,
dan polusi lain, kita harus terus menjaga udara bersih dengan cara melestarian
lingkungan dengan menanam pohon dan membersihkan lingkungan.
Makanan dan minuman menyehatkan
Salah satu dari prinsip dalam
menjaga kesehatan yang disampaikan oleh Ibn Sina adalah ma’kul wa masyrub (makanan
dan minuman). Untuk mengetahui makanan dan minuman yang menyehatkan harus mengetahui
jenis makanan yang dimakan, apakah sesuai dengan kebutuhan, jumlah seimbang,
dan dimakan pada saat yang tepat. Rasulullah SAW menyatakan bahwa perut adalah
rumah penyakit dan berdiet (puasa) adalah obat paling baik. Sumber setiap
penyakit adalah alat cerna. Beliau bersabda pula: ”Kami adalah kaum yang tidak makan
sebelum lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang.”
Al-Quran menyuruh kita untuk makan
dan minum yang halal dan thayyib, antara lain disebutkan, ”Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah: 168). Ath-Thayyibat mengandung makna halal, bersih dan sehat. Dalam al-Quran kata ath-thayyibat sering digunakan untuk menunjuk pada makanan seperti
pada ayat-ayat
di atas, juga menunjuk pada rezeki secara umumnya baik yang bersifat material,
intelektual, maupun spiritual (QS al-Anfal: 26, Yunus: 93, dan al-Nahl: 72).
Istirahat dan gerak untuk kesehatan
Salah satu prinsip memelihara kesehatan dalam konsep
Ibn Sina adalah harakah wa sukûn badani (gerak dan istirahat). Keseimbangan antara gerak dan
istirahat menjadi penentu dalam memelihara kesehatan kita. Gerak dilakukan
dalam bentuk olah raga untuk menggerakkan fungsi anggota tubuh. Istirahat
dilakukan dalam bentuk tidur atau bergantian dari satu aktivitas menuju kepada
aktifitas lainnya yang lebih ringan. Islam mengajarkan untuk menggerakkan tubuh
setidaknya dalam shalat lima waktu sehari semalam.
Selain gerak, Ibn Sina menyarankan pentingnya
istirahat,. Tidur menurut Ibn Sina merupakan istirahat paling ideal baik secara
fisik maupun mental. Kurang tidur akan menyebabkan kurang energi, lemah mental,
dan mengganggu pencernaan. Ibn Sina juga menjelaskan bagaimana tidur yang baik,
misalnya mulai tidur dengan posisi tubuh bagian kanan kemudian berganti pada
bagian kiri, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW.
Kesehatan mental
Kesehatan mental (ash-shihhah an-nafsiyyah) dimaknai sebagai kondisi seorang yang stabil,
selaras jiwanya (kepribadian, emosi, dan sosial), baik terhadap dirinya maupun
lingkungannya, dan ia merasakan kebahagiaan pada dirinya dan pada orang lain,
meningkatkan kemampuannya semaksimal mungkin, mampu mewujudkan dirinya, mampu
menghadapi berbagai masalah hidup, kepribadiannya tegak, dan perilakunya
normal, dimana dia dapat hidup secara damai dan tenteram.
Al-Quran menyebutkan bahwa an-nafs (jiwa) adalah wadah dan penggerak tingkah laku.
Perilaku negatif maupun positif digerakkan oleh jiwa itu. Seperti disebutkan
dalam QS Yasin: 54, ar-Ra’d:
11, dan al-Hujurat:
15. Jiwa dapat menampung hal-hal yang baik dan buruk (QS asy-Syams: 8 dan an-Nazi’at: 40). Bila jiwa itu
dijaga dan disucikan dari dorongan hawa nafsu, maka akan meningkatlah kualitas
jiwa itu. Tapi bila jiwa itu dikotori oleh berbagai maksiat dan dosa, maka akan
jatuh hina (QS asy-Syams:9-10).
Dalam pandangan Ibn Sina, sakit
mental disebabkan oleh tidak stabilnya atau disharmonitas kondisi manusia dalam
humornya. Hal itu dapat dipengaruhi oleh keadaan sedih atau putus asa. Ibn Sina
mengistilahkan sakit mental dengan hati yang menjadi panas dan dingin, secara
tidak stabil. Keseimbangan kondisi panas dan dingin dalam hati itulah sehat
mental, sedangkan bila tidak seimbang itulah sakit mental. Kebimbangan yang
mengusik dan menyakitkan hati akan menunjukkan kondisi hati yang panas, sedang
kebimbangan yang mengarah pada rasa takut dan prihatin akan menunjukkan kondisi
hati yang dingin. Bila jiwa dalam keadaan sesak, panas atau dingin sekali, itu
suatu pertanda bahwa hati akan terserang sakit.
Solusi yang ditawarkan Ibn Sina agar hati kita menjadi
kuat dan seimbang (stabil), adalah bahwa kita harus bersikap optimis dan penuh
harap (al-amal
wa husn ar-raja). Hal itu karena sikap itu dapat mendorong hati
manjadi kuat, kondisi panas dan dingin hati menjadi stabil. Sebaliknya, sedih
dan putus asa justru akan menjadikan hati tidk kuat dan tidak stabil. Agar kita
terjaga dari penyakit mental, maka terapi psikosomatis yang disarankan oleh Ibn
Sina adalah dengan bersikap optimis dan penuh harap (al-amal wa husn ar-raja). Hal itu sejalan dengan firman Allah, ”Dan janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari
rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS Yusuf: 87).
Dikatakan
oleh Ibn Sina bahwa sebenarnya orang yang sakit, hanya dengan kemauannyalah dia
dapat sembuh. Sebaliknya, orang yang sehat, dapat benar-benar menjadi sakit karena
pengaruh pikirannya yang sakit. Emosi yang kuat, seperti rasa takut, dapat
benar-benar
merusak dan menyebabkan kematian, dengan mempengaruhi fungsi-fungsi organ tubuh.
Positive thinking
Sejalan dengan Ibn Sina, kini para motivator dunia
sangat berminat pada terapi al-amal wa husn al-raja (optimis
dan penuh harap) sebagaimana yang dianjurkan Ibn Sina. Mereka menyuguhkan
konsep positive thinking (berpikir posif). Mereka percaya bahwa kekuatan
pikiran (mental health) dapat merubah perilaku seseorang. Kekuatan
pikiran dapat mengubah cara pandang dan pola hidup. Berbagai penderitaan yang
dialami seseorang, sering terjadi karena lemahnya pikiran. Membangun keyakinan
secara alami sangat diperlukan agar dapat menatap masa depan dengan gemilang.
Kekuatan pikiran dapat menghasilkan perilaku yang lebih santun dan bijak.
Kekuatan pikiran yang dikelola dengan baik tidak saja berpengaruh pada
kesehatan jiwa, lebih dari itu, ia akan berpengaruh pada kesehatan jasmani,
kekayaan, kepercayaan diri, dan kreatifitas.
Dengan berpikir positif, kita dapat melihat masalah
sebagai tantangan. Tidak melihat masalah sebagai cobaan dan petaka yang
menyengsarakan. Hidup dapat dinikmati, menerima keadaan dengan penuh tawakkal,
berbesar hati, dengan terus berusaha mendapatkan yang terbaik. Dengan berpikir
positif, kita terbuka untuk menerima saran dan ide orang lain sehingga muncul
hal-hal baru
yang akan membuat segala sesuatu lebih baik. Kita segera menyingkirkan pikiran
negatif jauh-jauh
ketika terlintas dalam diri kita. Dengan berpikir positif, kita dapat
mensyukuri nikmat, tidak berkeluh-kesah.
Semoga kita menjadi manusia
sehat, sehat jasmani (fisik) dan sehat ruhani (mental), sehingga dapat mengabdi
(ibâdah) kepada
Allah dengan lebih banyak dan lebih berkualitas. Wallahu a’lam bish-shawab.salam chaling
Tidak ada komentar:
Posting Komentar