Persoalan Kalender Masehi dari Masa ke Masa
Setiap malam pergantian tahun baru muda mudi dengan rela dan sabar
menunggu pergantian momen tersebut. Mereka meyakini pada malam itu terjadi
peralihan tahun dan masuk tahun baru. Padahal selama ini penduduk bumi tertipu
oleh inkonsistensi penetapan awal tahun baru masehi.
Hampir di semua negara, setiap
pergantian tahun selalu dirayakan dengan berbagai perhelatan yang berlebihan. Pesta
kembang api di mana-mana. Aneka hiburan ditampilkan sejak sore hingga larut
malam. Muda-mudi berkumpul menyalakan kembang api dan petasan di pusat-pusat
keramaian. Tepat pukul 00.00 WIB mereka berkumpul di satu titik untuk meniup
terompet dan mengucapkan selamat tahun baru (Happy New Year).
Persoalan kalender masehi
Di balik perayaan tahun baru yang
setiap tahun diperingati pada malam tanggal 1 Januari ini, ternyata ada sejarah
penting yang perlu diketahui masyarakat, terutama umat Islam, agar lebih bijak
dalam menyikapi tahun baru masehi. Sejarah perayaan tahun baru pertama kali terjadi
pada tanggal 1 Januari 45 SM. Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari)
kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan
Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah –sebuah
wajahnya menghadap ke (masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu--.
Kalender Masehi diproklamirkan oleh Numa Pompilus pada
tahun berdirinya kerajaan Roma 753 SM. Kalender ini berdasarkan perubahan musim sebagai akibat peredaran semu matahari,
dengan menetapkan satu tahun berumur 366 hari dan bulan Maret adalah bulan pertamanya, karena posisi matahari berada pada
titik Aries yang terjadi pada bulan Maret.
Pada masa berikutnya, ketika Julius
Caesar memimpin Roma, ia sempat membuat
kebijakan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan
sejak abad ketujuh SM itu dengan kalender yang dipercayainya. Dalam mendesain
kalender baru ini, Julius Caesar dibantu seorang ahli astronomi dari
Iskandariyah bernama Sosigenes. Ia menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat
dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang
Mesir.
Dalam sistem kalender tersebut, setiap
satu tahun penanggalan dihitung sebanyak 365 seperempat hari. Caesar
menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 44 SM dimulai pada 1
Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari
ditambahkan kepada bulan Februari, agar secara teoritis bisa menghindari
penyimpangan dalam kalender baru ini. Pada tahun 44 SM, Julius Caesar meninggal
namun sebelumnya ia sempat mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu
Julius atau yang kita sebut Bulan Juli sekarang ini. Kaisar berikutnya bernama
kaisar Augustus juga mengganti Bulan Sextilis menjadi bulan Agustus.
Sistem penanggalan yang merujuk
pada awal tahun masehi ini mulai diadopsi di Eropa Barat hingga mapan pada abad
ke-8. Semula seorang biarawan Katolik, Dionisius Exoguus pada tahun 527 M
ditugaskan pimpinan Gereja untuk membuat perhitungan tahun dengan titik tolak
tahun kelahiran Nabi Isa AS (Yesus). Dan mula-mula dipergunakan untuk
menghitung tanggal Paskah (Computus) berdasarkan tahun pendirian Roma.
Padahal sebelum Julius Caesar
membuat kalender masehinya, semula kalender bulan ala Romawi ini terbagi dalam
10 bulan yang dimulai dari Martius,
Aprilis, Maius, Junius, Quintrilis, Sextilis, September, October, November dan
December. Pemberian nama bulan pada kalender masehi ini ada kaitannya dengan
dewa bangsa Romawi. Misalnya, bulan Martius diambil dari Mars, nama dewa perang
bangsa Romawi kuno yang sangat terkenal karena kegarangan dan keberaniannya. Nama
bulan Aprilis diambil dari kata Aperiri, sebutan untuk cuaca yang nyaman di
dalam musim semi. Demikian juga bulan Maius diambil dari nama dewa musim semi
dan Junius diambil dari nama dewa wanita.
Sementara, nama Bulan Quintrilis,
Sextrilis, September, October, November dan December adalah nama yang diberikan
berdasarkan angka urutan susunan bulan. Quntrilis berarti bulan kelima,
Sextilis bulan keenam, September bulan ketujuh, October bulan kedelapan dan
December bulan kesepuluh. Berdasarkan nama-nama tersebut di atas, tampak¸bahwa
di zaman dahulu permualaan penanggalan Masehi jatuh pada bulan Maret dan
berakhir pada bulan December.
Adanya perubahan dari 10 bulan
menjadi 12 bulan ini berarti ada tambahan 2 bulan, yaitu Januarius dan
Februarius. Menurut kepercayaan mereka, Januarius juga diambil dari nama dewa
Janus yang diyakini dapat memandang masa lalu dan masa depan. Karenanya
Januarius ditetapkan sebagai bulan pertama.
Sedangkan Februarius diambil dari
upacara Februa, yaitu upacara semacam bersih kampung atau ruwatan untuk
menyambut kedatangan musim semi. Dengan ini Februarius menjadi bulan yang
kedua, sebelum musim semi datang pada bulan Maret.
Maka, bulan-bulan yang terdahulu
letaknya di dalam penanggalan baru menjadi tergeser dua bulan, dan susunannya
menjadi: Januarius, Februarius, Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quintrilis,
Sextilis, September, October, November dan December. Adanya perubahan ini
membuat nama-nama Quintrilis sampai December menjadi tanpa arti, karena posisi
dalam urutan kedudukannya yang baru tidak lagi sesuai dengan arti sebenarnya.
Misalnya bulan September yang
berarti bulan ketujuh setelah adanya perubahan itu menjadi bulan ke sembilan.
Demikian juga bulan October yang berarti delapan sekarang menjadi bulan ke
sepuluh, bulan November yang berarti Sembilan sekarang menjadi bulan ke sebelas
dan bulan December yang berarti sepuluh kini menempati urutan bulan duabelas.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang dipakai waktu itu belum merupakan sistem
matahari murni, masih banyak kesalahan atau ketidak-cocokan yang kian jauh
melesetnya.
Penduduk bumi tertipu
Seperti dipaparkan Abby Fadhillah
Yahya dalam makalah berjudul “Sejarah Penanggalan Masehi” (hidayatullah.com), dijelaskan
bahwa perubahan penanggalan tahun masehi yang dipakai secara internasional ini
ternyata bukan perhitungan secara murni. Tapi perhitungan berdasarkan Astrologi
Mesopotamia yang dikembangkan oleh astronum-astronum para penyembah dewa-dewa.
Tak heran jika nama-nama bulan pun melekat pada nama dewa dan tokoh-tokoh
pencetus penanggalan kalender masehi. Maka penanggalan Masehi yang sekarang
ditetapkan oleh Paus Katolik dan menjadi tradisi umat Kristen se-Dunia ini
masih perlu banyak koreksian.
Jika pada zaman Julis Caesar
musim semi mundur hampir 3 bulan, kini musim semi justru dirasakan maju
beberapa hari dari patokan. Kala revolusi bumi yang semula dianggap 365.25
hari, ternyata tepatnya 365 hari, 5 jam, 56 menit kurang beberapa detik. Sehingga
ada kelebihan menghitung 4 menit setiap tahun yang makin lama makin banyak
jumlanya.
Maka untuk meluruskan kemelesetan
itu, Paus Gregorius XIII pimpinan Gereja Katolik di Roma pada tahun 1582
mengoreksi dan mengeluarkan beberapa keputusan diantaranya pada tahun 1582 itu
diadakan pengurangan sebanyak 10 hari jatuh pada bulan October. Pada bulan
Oktober 1582 itu, setelah tanggal 4 Oktober langsung ke tanggal 14 Oktober.
Koreksi atau reformasi Gregorius ini
pun pada kenyataannya tidak diterapkan secara serempak. Negara-negara
di dunia terpecah dalam penggunaan kalendar masehi, di Inggris dan koloni
Inggris reformasi dilaksanakan tahun 1752, di Eropa Timur reformasi baru
selesai pada abad 20. Jadi, proses penyatuan kalendar berlangsung sekitar 4
abad.
Selain itu, sebagai pembaharu
terakhir, Paus Gregorius XIII menetapkan 1 Januari sebagai tahun baru lagi.
Berarti pada perhitungan rahib Katolik, Dionisius Exoguus tergusur. Tahun baru
bukan lagi 25 Maret seiring dengan pengertian Nabi Isa AS (Yesus) lahir pada
tanggal 25, dan permulaan musim semi pada bulan Maret. Hal ini membuktikan
betapa sekian lama penduduk bumi ini tertipu oleh kalender masehi.
Ketimbang merayakan tahun baru dengan hura-hura,
lebih indah jika malam tahun baru ini diisi dengan kegiatan positif. Setidaknya
tahun baru menandakan umur kita semakin bertambah tua dan jatah usia di dunia
semakin berkurang. / ahmad muhajir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar