Senin, 05 Mei 2014

Persoalan Kalender Masehi dari Masa ke Masa

Setiap malam pergantian tahun baru muda mudi dengan rela dan sabar menunggu pergantian momen tersebut. Mereka meyakini pada malam itu terjadi peralihan tahun dan masuk tahun baru. Padahal selama ini penduduk bumi tertipu oleh inkonsistensi penetapan awal tahun baru masehi.
Hampir di semua negara, setiap pergantian tahun selalu dirayakan dengan berbagai perhelatan yang berlebihan. Pesta kembang api di mana-mana. Aneka hiburan ditampilkan sejak sore hingga larut malam. Muda-mudi berkumpul menyalakan kembang api dan petasan di pusat-pusat keramaian. Tepat pukul 00.00 WIB mereka berkumpul di satu titik untuk meniup terompet dan mengucapkan selamat tahun baru (Happy New Year). 
Persoalan kalender masehi
Di balik perayaan tahun baru yang setiap tahun diperingati pada malam tanggal 1 Januari ini, ternyata ada sejarah penting yang perlu diketahui masyarakat, terutama umat Islam, agar lebih bijak dalam menyikapi tahun baru masehi. Sejarah perayaan tahun baru pertama kali terjadi pada tanggal 1 Januari 45 SM. Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari) kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah –sebuah wajahnya menghadap ke (masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu--.
Kalender Masehi diproklamirkan oleh Numa Pompilus pada tahun berdirinya kerajaan Roma 753 SM. Kalender ini berdasarkan perubahan musim sebagai akibat peredaran semu matahari, dengan menetapkan satu tahun berumur 366 hari dan bulan Maret adalah bulan pertamanya, karena posisi matahari berada pada titik Aries yang terjadi pada bulan Maret.
Pada masa berikutnya, ketika Julius Caesar  memimpin Roma, ia sempat membuat kebijakan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM itu dengan kalender yang dipercayainya. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu seorang ahli astronomi dari Iskandariyah bernama Sosigenes. Ia menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Dalam sistem kalender tersebut, setiap satu tahun penanggalan dihitung sebanyak 365 seperempat hari. Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 44 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, agar secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Pada tahun 44 SM, Julius Caesar meninggal namun sebelumnya ia sempat mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau yang kita sebut Bulan Juli sekarang ini. Kaisar berikutnya bernama kaisar Augustus juga mengganti Bulan Sextilis menjadi bulan Agustus.
Sistem penanggalan yang merujuk pada awal tahun masehi ini mulai diadopsi di Eropa Barat hingga mapan pada abad ke-8. Semula seorang biarawan Katolik, Dionisius Exoguus pada tahun 527 M ditugaskan pimpinan Gereja untuk membuat perhitungan tahun dengan titik tolak tahun kelahiran Nabi Isa AS (Yesus). Dan mula-mula dipergunakan untuk menghitung tanggal Paskah (Computus) berdasarkan tahun pendirian Roma.
Padahal sebelum Julius Caesar membuat kalender masehinya, semula kalender bulan ala Romawi ini terbagi dalam 10 bulan yang dimulai dari  Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quintrilis, Sextilis, September, October, November dan December. Pemberian nama bulan pada kalender masehi ini ada kaitannya dengan dewa bangsa Romawi. Misalnya, bulan Martius diambil dari Mars, nama dewa perang bangsa Romawi kuno yang sangat terkenal karena kegarangan dan keberaniannya. Nama bulan Aprilis diambil dari kata Aperiri, sebutan untuk cuaca yang nyaman di dalam musim semi. Demikian juga bulan Maius diambil dari nama dewa musim semi dan Junius diambil dari nama dewa wanita.
Sementara, nama Bulan Quintrilis, Sextrilis, September, October, November dan December adalah nama yang diberikan berdasarkan angka urutan susunan bulan. Quntrilis berarti bulan kelima, Sextilis bulan keenam, September bulan ketujuh, October bulan kedelapan dan December bulan kesepuluh. Berdasarkan nama-nama tersebut di atas, tampak¸bahwa di zaman dahulu permualaan penanggalan Masehi jatuh pada bulan Maret dan berakhir pada bulan December.
Adanya perubahan dari 10 bulan menjadi 12 bulan ini berarti ada tambahan 2 bulan, yaitu Januarius dan Februarius. Menurut kepercayaan mereka, Januarius juga diambil dari nama dewa Janus yang diyakini dapat memandang masa lalu dan masa depan. Karenanya Januarius ditetapkan sebagai bulan pertama.
Sedangkan Februarius diambil dari upacara Februa, yaitu upacara semacam bersih kampung atau ruwatan untuk menyambut kedatangan musim semi. Dengan ini Februarius menjadi bulan yang kedua, sebelum musim semi datang pada bulan Maret.
Maka, bulan-bulan yang terdahulu letaknya di dalam penanggalan baru menjadi tergeser dua bulan, dan susunannya menjadi: Januarius, Februarius, Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quintrilis, Sextilis, September, October, November dan December. Adanya perubahan ini membuat nama-nama Quintrilis sampai December menjadi tanpa arti, karena posisi dalam urutan kedudukannya yang baru tidak lagi sesuai dengan arti sebenarnya.
Misalnya bulan September yang berarti bulan ketujuh setelah adanya perubahan itu menjadi bulan ke sembilan. Demikian juga bulan October yang berarti delapan sekarang menjadi bulan ke sepuluh, bulan November yang berarti Sembilan sekarang menjadi bulan ke sebelas dan bulan December yang berarti sepuluh kini menempati urutan bulan duabelas. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang dipakai waktu itu belum merupakan sistem matahari murni, masih banyak kesalahan atau ketidak-cocokan yang kian jauh melesetnya.
Penduduk bumi tertipu
Seperti dipaparkan Abby Fadhillah Yahya dalam makalah berjudul “Sejarah Penanggalan Masehi” (hidayatullah.com), dijelaskan bahwa perubahan penanggalan tahun masehi yang dipakai secara internasional ini ternyata bukan perhitungan secara murni. Tapi perhitungan berdasarkan Astrologi Mesopotamia yang dikembangkan oleh astronum-astronum para penyembah dewa-dewa. Tak heran jika nama-nama bulan pun melekat pada nama dewa dan tokoh-tokoh pencetus penanggalan kalender masehi. Maka penanggalan Masehi yang sekarang ditetapkan oleh Paus Katolik dan menjadi tradisi umat Kristen se-Dunia ini masih perlu banyak koreksian.
Jika pada zaman Julis Caesar musim semi mundur hampir 3 bulan, kini musim semi justru dirasakan maju beberapa hari dari patokan. Kala revolusi bumi yang semula dianggap 365.25 hari, ternyata tepatnya 365 hari, 5 jam, 56 menit kurang beberapa detik. Sehingga ada kelebihan menghitung 4 menit setiap tahun yang makin lama makin banyak jumlanya.
Maka untuk meluruskan kemelesetan itu, Paus Gregorius XIII pimpinan Gereja Katolik di Roma pada tahun 1582 mengoreksi dan mengeluarkan beberapa keputusan diantaranya pada tahun 1582 itu diadakan pengurangan sebanyak 10 hari jatuh pada bulan October. Pada bulan Oktober 1582 itu, setelah tanggal 4 Oktober langsung ke tanggal 14 Oktober.
Koreksi atau reformasi Gregorius ini pun pada kenyataannya tidak diterapkan secara serempak. Negara-negara di dunia terpecah dalam penggunaan kalendar masehi, di Inggris dan koloni Inggris reformasi dilaksanakan tahun 1752, di Eropa Timur reformasi baru selesai pada abad 20. Jadi, proses penyatuan kalendar berlangsung sekitar 4 abad.
Selain itu, sebagai pembaharu terakhir, Paus Gregorius XIII menetapkan 1 Januari sebagai tahun baru lagi. Berarti pada perhitungan rahib Katolik, Dionisius Exoguus tergusur. Tahun baru bukan lagi 25 Maret seiring dengan pengertian Nabi Isa AS (Yesus) lahir pada tanggal 25, dan permulaan musim semi pada bulan Maret. Hal ini membuktikan betapa sekian lama penduduk bumi ini tertipu oleh kalender masehi.
Ketimbang merayakan tahun baru dengan hura-hura, lebih indah jika malam tahun baru ini diisi dengan kegiatan positif. Setidaknya tahun baru menandakan umur kita semakin bertambah tua dan jatah usia di dunia semakin berkurang. / ahmad muhajir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar